Berita

Provinsi percontohan REDD+ Indonesia: bagaimana kemajuan setelah dua tahun?

Banyak tantangan yang sama tetap ada. Ada masalah apa?
Bagikan
0
Dua tahun sejak diumumkan sebagai pilot proyek REDD+ di Indonesia, masih banyak tantangan di bidang lingkungan hidup yang harus diselesaikan di provinsi Kalimantan Tengah. Daniel Murdiyarso/CIFOR

Bacaan terkait

Ketika Presiden Susilo Bambang Yudhoyono memilih Kalimantan Tengah sebagai provinsi percontohan untuk program Pengurangan Emisi dari Deforestasi dan Degradasi hutan (REDD+), diharapkan beberapa masalah lingkungan yang berat di daerah tersebut — seperti wilayah gambut yang luas yang terancam dan laju konversi hutan yang tinggi — akan ditangani.

Dua tahun berjalan, tampaknya banyak dari tantangan yang sama tetap ada, yang mendorong sebagian pembuat kebijakan dan pelestari lingkungan menyebut provinsi tersebut sebagai “masalah prioritas” pemerintah Indonesia.

Kalimantan Tengah dan Riau merupakan dua provinsi di negara kepulauan tropis ini yang berisiko melepaskan sejumlah besar emisi gas rumah kaca ke atmosfer karena banyaknya lahan gambut yang dalam dan kaya karbon, kata Daniel Murdiyarso, peneliti senior Center for International Forestry Research (CIFOR).

“Bila pemerintah ingin mengurangi emisi sampai 26 persen, upayanya perlu mencakup lahan gambut dalam REDD+,” ujar Murdiyarso, mengacu pada target Presiden Yudhoyono di tahun 2020.

Kalimantan Tengah meliputi sekitar 15 juta hektar lahan, 70 persen di antaranya masih berhutan dan kaya akan keanekaragaman hayati.  Daerah ini telah menyaksikan pertumbuhan ekonomi yang konsisten selama dekade terakhir, namun sebagian besar dari pertumbuhan ini berasal dari perluasan sektor pertanian dan pertambangan yang tidak lestari.

Karena alasan-alasan tersebut, Kalimantan Tengah dipilih untuk memimpin percobaan skema mitigasi iklim REDD+ yang disokong PBB, di mana dana akan disalurkan dari negara  maju ke berbagai negara berkembang untuk mempertahankan pepohonan mereka. Kebakaran hutan dan dekomposisi gambut merupakan penyebab emisi terbesar di provinsi ini.

Pengembangan provinsi perintisan REDD+ di Indonesia merupakan salah satu isi kemitraan dengan pemerintah Norwegia melalui nota kesepakatan yang ditandatangani pada bulan Mei 2010. Dalam kesepakatan tersebut, Norwegia akan menyediakan sampai 1 miliar dolar AS untuk Indonesia dalam dana terkait performa pengurangan deforestasi dan degradasi hutan. Hal ini terikat dengan sasaran Indonesia yang lebih besar untuk mewujudkan pembangunan rendah karbon dan berkontribusi pada pergerakan global untuk mengurangi emisi karbon – dengan berkomitmen untuk mengurangi emisi sebesar 26 persen dari tingkatan business-as-usual dan sampai 41 persen pada tahun 2020, sambil meraih pertumbuhan ekonomi sebesar 7 persen.

Lahan gambut Kalimantan – lebih penting dari yang diperkirakan banyak orang

Lebih dari 20 juta hektar hutan rawa gambut Indonesia telah diterlantarkan selama puluhan tahun, dianggap sebagai tidak lebih dari tanah buangan dan dinilai sangat rendah, demikian disampaikan Murdiyarso.

“Lahan gambut berhutan mengandung sekitar 200 ton karbon di atas permukaan tanah, tetapi jumlah karbon di bawah tanah lima kali lebih tinggi karena akumulasi selama ribuan tahun,” katanya.

Kalimantan Tengah masih menderita dari dampak gagalnya proyek Lahan Gambut Sejuta Hektar, yang pada tahun 1990-an bertujuan mengubah lebih dari satu juta hektar hutan rawa gambut menjadi sawah usaha untuk mengatasi kekurangan pangan Indonesia yang semakin besar. Pemerintah berinvestasi dan membangun saluran drainase serta menebang pohon di sejumlah besar lahan gambut sebagai bagian dari proyek tersebut.

Pada tahun 2011, pemerintah memberlakukan moratorium dua tahun pada izin baru untuk hutan primer dan lahan gambut, sebagai bagian dari usaha untuk mengurangi emisi dari deforestasi.

Namun, sebuah analisis CIFOR yang dilakukan pada awal tahun ini menunjukkan bahwa sudah ada izin-izin yang dikeluarkan untuk hampir 5 juta hektar lahan gambut yang kaya akan karbon yang sebelumnya dianggap tercakup dalam moratorium tersebut.

“Sebagai pemegang kewenangan utama, pemerintah perlu mengatur dengan semua yang memegang konsesi hutan tersebut untuk mengelola lahan gambut dengan lebih baik,” ujar Murdiyarso.

Meski menghadapi banyak tantangan, gubernur Kalimantan Tengah Agustin Teras Narang memiliki harapan tinggi untuk lahan gambut provinsi tersebut.

“Target saya adalah untuk mengonversi satu juta hektar [lahan gambut yang rusak] menjadi fungsi awalnya, baik itu terkait kehutanan, pertanian, peternakan atau perikanan.”

Masalah industri ekstraktif Kalimantan

Kalimantan Tengah dikenal sebagai produsen utama ’emas hijau’, kata Teras.

“Pada tahun 1970-an sampai 1980-an, ada 120 konsesi hutan produksi. Sekarang, ada 55,” katanya, menyiratkan bahwa semakin sedikit perusahaan yang beroperasi akan membabat lebih sedikit area hutan.

Konsesi hutan yang tumpang tindih antara otoritas pusat dan tingkat provinsi serta antara berbagai sektor juga telah menyaksikan banyak benturan hebat antara pemilik tanah adat dan para pemegang lisensi penebangan kayu dan pertambangan.

Teras mengakui adanya masalah-masalah ini dan menyatakan harapannya bahwa para bupati lebih bertanggung jawab dalam pengambilan keputusan mereka.

“Tetapi tidak demikian kasusnya. Apa Anda tahu bahwa ada kabupaten di sini yang telah mengeluarkan lebih dari 230 izin pertambangan? Dan itu hanya satu [kabupaten].”

Untuk menangani masalah-masalah ini, Satgas REDD+ dan pemerintah Kalimantan Tengah telah meninjau lisensi penebangan kayu yang ada dalam kabupaten-kabupaten terpilih, dan menjajaki opsi-opsi legal untuk menghormati hak-hak penduduk asli. Satu langkah maju adalah Inisiatif Satu Peta (OMI) yang bertujuan untuk mengkonsolidasikan izin tata guna lahan oleh berbagai departemen pemerintah dan komunitas penduduk asli menjadi satu peta yang mencakup semua.

Mengingat banyak tantangan di depan, Teras mempunyai pesan yang jelas untuk para pemimpin provinsi proyek percontohan REDD+ tersebut di masa depan.

“Siapapun yang memimpin Kalimantan Tengah di masa depan tidak boleh berpikir bahwa mereka dapat memanfaatkan lahan ini [untuk kepentingan mereka sendiri],” ujarnya.

Kebijakan Hak Cipta:
Kami persilahkan Anda untuk berbagi konten dari Berita Hutan, berlaku dalam kebijakan Creative Commons Attribution-NonCommercial-ShareAlike 4.0 International (CC BY-NC-SA 4.0). Peraturan ini mengijinkan Anda mendistribusikan ulang materi dari Kabar Hutan untuk tujuan non-komersial. Sebaliknya, Anda diharuskan memberi kredit kepada Kabar Hutan sesuai dan link ke konten Kabar Hutan yang asli, memberitahu jika dilakukan perubahan, termasuk menyebarluaskan kontribusi Anda dengan lisensi Creative Commons yang sama. Anda harus memberi tahu Kabar Hutan jika Anda mengirim ulang, mencetak ulang atau menggunakan kembali materi kami dengan menghubungi forestsnews@cifor-icraf.org
Topik :   Lahan Gambut

Lebih lanjut Lahan Gambut

Lihat semua