Berita

Memetakan masa depan Indonesia: mengintegrasikan klaim masyarakat adat atas lahan

Banyak konsesi diberikan pada lahan dan hutan tempat suku Dayak dan masyarakat adat lain hidup. Hal ini terkadang memicu konflik berdarah.
Bagikan
0
Tetua adat masyarakat Dayak di provinsi Kalimantan Tengah membuat upacara adat penggunaan lahan mereka. Achmad Ibrahim (CIFOR)

Bacaan terkait

Mengenakan kemeja batik merah dan membawa belati panjang dari kayu, pemimpin suku Dayak Lewis K.D.R bersiap-siap untuk sebuah ritual sakral yang telah dijalankan selama berabad-abad untuk menyampaikan pesan kepada roh hutan bahwa penduduk desa ingin menggunakan lahan untuk membangun rumah, pertanian, dan mulai menanam.

Seorang pendeta, duduk di atas tunggul pohon di samping Lewis, merapal doa dan mantra serta menyebarkan beras di atas tanah. Para petani dan penduduk desa yang lain menghampiri dan membungkuk supaya sejumlah butiran beras dapat jatuh di atas kepala mereka – pemberkatan tradisional untuk menangkal bahaya dan pertanda buruk.

“Kami tidak akan pernah merusak lingkungan, karena di sinilah kami tinggal dan bertahan hidup,” kata Lewis, menjelaskan bahwa beras mewakili kehadiran manusia dan digunakan untuk berkomunikasi dengan mereka yang tidak terlihat.

“Kami ingin mempertahankannya supaya kami bisa mewariskannya pada generasi berikutnya.”

Indonesia adalah salah satu negara dengan hutan terluas di dunia, namun pohon terus ditebang dengan laju yang mengkhawatirkan untuk kayu dan pertambangan serta memberikan ruang untuk perkebunan pulp dan kelapa sawit.

Banyak konsesi telah dilimpahkan pada lahan dan hutan di mana suku Dayak dan masyarakat adat lain telah hidup selama bergenerasi-generasi, terkadang memicu konflik berdarah – sebuah masalah yang diperparah dengan tidak adanya peta menyeluruh yang menunjukkan keberadaan lahan adat.

Hal ini mulai berubah, sebagian karena adanya skema Pengurangan Emisi dari Deforestasi dan Degradasi Hutan (REDD+), sebuah skema yang didukung PBB untuk memperlambat perubahan iklim.

Dengan dilengkapi perangkat pemetaan, sistem pemosisi global (GPS), kompas dan sejumlah perlengkapan lain, kelompok masyarakat adat menerima dorongan besar berupa dukungan dana dan teknis dari REDD+ untuk pekerjaan yang telah dimulai 15 tahun yang lalu untuk mencapai suatu kesepakatan tentang perbatasan lahan adat.

“Saat ini, di seluruh Indonesia, ada banyak sekali klaim tumpang tindih lahan,” kata Abdon Nababan, Sekretaris Jenderal Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN). Ia mencatat bahwa permasalah tersebut dimulai hampir empat dekade lalu dengan diluncurkannya Undang-Undang Kehutanan, ketika pemerintah mulai mengklaim sejumlah besar lahan dan mengonversinya menjadi konsesi kayu.

“Kalau ditemukan minyak dan gas pada lahan adat, maka ijin pertambangan akan diterbitkan.”

Gagasan di balik REDD+ sederhana: menawarkan insentif finansial untuk negara-negara yang menyimpan karbon atau menghindari deforestasi, memberikan kompensasi atas peluang yang hilang, dan menghentikan pembayaran jika mereka tidak memenuhi komitmennya.

Namun walaupun banyak inisiatif REDD+ telah dimulai di Indonesia, beberapa di lahan Dayak, keberhasilannya sebagian bergantung pada bagaimana masalah hak tanah masyarakat adat akan diselesaikan.

“Bagaimana kita akan menetapkan siapa yang memiliki hak atas karbon di hutan?” kata Daju Resosudarmo, peneliti Center for International Forestry Research (CIFOR), yang hasil kajiannya tentang REDD+ baru-baru ini dipublikasikan dalam buku Analysing REDD+.

“Siapa yang akan memperoleh manfaat finansial dari perdagangan karbon?” tanyanya. Ia menambahkan bahwa tanpa ada peraturan tentang tenurial karbon, pertanyaan tentang siapa yang memiliki hak terhadap lahan menjadi sangat penting. Selanjutnya, “siapa yang akan bertanggung jawab jika pengurangan emisi karbon Indonesia tidak terpenuhi?”

Masyarakat adat di bawah AMAN menanggung sebagian besar biaya proyek pemetaan, dan para fasilitator menyediakan perlengkapan dan pelatihan yang mereka perlukan.

Diharapkan bahwa peta ini pada akhirnya akan dipaduserasikan dengan Inisiatif Satu Peta REDD+ (OMI) – sebuah peta tunggal yang meliputi seluruh Indonesia yang bertujuan untuk memuat semua informasi yang relevan terkait perijinan hutan dan klaim pemanfaatan lahan.

“Proses mewujudkan peta ini adalah dengan [mengundang] partisipasi publik… sehingga mereka dapat melakukan koreksi, penyesuaian, perubahan dan tinjuan,” kata Kuntoro Mangkusubroto, Ketua Satgas REDD+ di Indonesia. Beliau menambahkan bahwa usaha bersama ini dapat meningkatkan kemungkinan adanya batas daerah yang adil dan akurat.

Nababan berharap bahwa pada akhir tahun 2012, setidaknya 5 juta hektar lahan adat sudah selesai dipetakan.

Kebijakan Hak Cipta:
Kami persilahkan Anda untuk berbagi konten dari Berita Hutan, berlaku dalam kebijakan Creative Commons Attribution-NonCommercial-ShareAlike 4.0 International (CC BY-NC-SA 4.0). Peraturan ini mengijinkan Anda mendistribusikan ulang materi dari Kabar Hutan untuk tujuan non-komersial. Sebaliknya, Anda diharuskan memberi kredit kepada Kabar Hutan sesuai dan link ke konten Kabar Hutan yang asli, memberitahu jika dilakukan perubahan, termasuk menyebarluaskan kontribusi Anda dengan lisensi Creative Commons yang sama. Anda harus memberi tahu Kabar Hutan jika Anda mengirim ulang, mencetak ulang atau menggunakan kembali materi kami dengan menghubungi forestsnews@cifor-icraf.org
Topik :   Deforestasi Tenurial

Lebih lanjut Deforestasi or Tenurial

Lihat semua