Wawancara

Kelompok masyarakat asli tidak seharusnya terpinggirkan dalam transformasi ekonomi di Kalimantan Timur

Kawasan hulu dan hutan di Kalimantan Timur merupakan tempat tinggal 18 suku Dayak. Mereka ikut memelihara kawasan tersebut.
Bagikan
0
Seorang nelayan menangkap ikan di perairan hulu sungai Malinau, Malinau, Kalimantan Timur. Michael Padmanaba/CIFOR

Bacaan terkait

Dr. Ir. Ndan Imang dari Pusat Kehutanan Sosial (Centre for Social Forestry) berbicara mengenai ancaman ekspansi ekonomi yang secara tidak terhindarkan terarah kepada masyarakat yang sangat bergantung pada hutan-hutan di provinsi yang telah terdegradasi dan semakin berkurang.

 

Q. Bagaimana pandangan Bapak tentang Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI), keterkaitannya dengan masyarakat lokal atau masyarakat adat yang memiliki ketergantungan tinggi terhadap hutan?

A. Sebagai seorang pengajar, peneliti, dan pengamat lingkungan (environmentalist), saya belajar dari pengalaman-pengalaman masa lalu bahwa ada masyarakat lokal yang terpinggirkan dengan adanya kebijakan atau kegiatan-kegiatan seperti hak pengelolaan hutan (HPH), hutan tanaman industri (HTI) dan kelapa sawit. Sudah banyak contoh yang kita lihat, seperti misalnya di Kabupaten Kutai Barat, Kutai Timur, dan juga beberapa contoh di Berau.

Kalau saya perhatikan, besarnya pelaksanaan MP3EI yang berbasis lahan merupakan kondisi yang mengkhawatirkan. Hal ini akan berdampak terhadap masyarakat lokal yang akan terganggu baik secara sosial, ekonomi maupun budaya. Karena kalau kita lihat, banyak penghidupan masyarakat yang sangat bergantung pada ekologi hutan. Misalnya saja untuk kegiatan berburu dan mencari ikan yang tersedia di hutan. Sayangnya, masyarakat luar melihat bahwa hutan merupakan lahan kosong dan terbelakang, padahal sebetulnya tidak karena masyarakat setempat yang bermukim di situ sudah hidup dengan baik.

Hal yang diperlukan saat ini adalah akses terhadap dunia luar agar mereka dapat menjual hasil-hasil produksi yang diperoleh atau melakukan pembinaan di tempat mereka berada sekarang sesuai dengan tatanan sosial budaya mereka. Jadi bukan merubah secara total. Daripada  misalnya dengan pembukaan lahan untuk  perkebunan kelapa sawit baru atau pemberian ijin untuk kegiatan pertambangan baru yang akan sangat memengaruhi pola kehidupan mereka. Sementara itu, suatu saat ketika kegiatan pertambangan tadi ditutup, maka ekologi mereka sudah rusak dan sekaligus akan menghancurkan tatanan sosial-ekonomi mereka. Ini merupakan pengamatan berdasarkan pengalaman-pengalaman yang sudah terjadi. Program-program sebaiknya memperhatikan hak-hak masyarakat adat setempat khususnya masyarakat Dayak. Kawasan hulu dan kawasan hutan di Kalimantan Timur merupakan tempat tinggal bagi 18 kelompok suku Dayak-yang secara tidak langsung ikut memelihara kawasan tersebut. Mari kita hormati mereka yang sudah ikut menjaga hutan.

 

Kebijakan Hak Cipta:
Kami persilahkan Anda untuk berbagi konten dari Berita Hutan, berlaku dalam kebijakan Creative Commons Attribution-NonCommercial-ShareAlike 4.0 International (CC BY-NC-SA 4.0). Peraturan ini mengijinkan Anda mendistribusikan ulang materi dari Kabar Hutan untuk tujuan non-komersial. Sebaliknya, Anda diharuskan memberi kredit kepada Kabar Hutan sesuai dan link ke konten Kabar Hutan yang asli, memberitahu jika dilakukan perubahan, termasuk menyebarluaskan kontribusi Anda dengan lisensi Creative Commons yang sama. Anda harus memberi tahu Kabar Hutan jika Anda mengirim ulang, mencetak ulang atau menggunakan kembali materi kami dengan menghubungi forestsnews@cifor-icraf.org