Berita

Migrasi ke kota Amazon tidak meningkatkan penghidupan, laporan lingkungan

Migran miskin mengambil primata terancam, burung dan spesies ikan tabu. Sementara migran lebih kaya membeli spesies terancam punah.
Bagikan
0
Melalui penelitian, Lukas Parry, seorang profesor di Universitas Lancaster Environment Centre, mampu menentukan bahwa para migran yang meninggalkan rumah mereka di pedesaan dalam mencari peluang kerja yang lebih baik, masih kekurangan akses ke pekerjaan perkotaan yang baik dan sebagian besar gagal untuk keluar dari kemiskinan. Kredit foto: CIAT/Neil Palmer

Bacaan terkait

SAN JOSE, Kosta Rika (19 Agustus 2013) – Migrasi masyarakat desa ke kota di Amazon Brasil seringkali tidak sesuai dengan harapan pengurangan kemiskinan atau konservasi keragaman hayati, menurut seorang profesor di Universitas Lancaster Environment Centre.

Penduduk desa seringkali meninggalkan hutan dan bermigrasi ke kota berharap mengalami peningkatan pemasukan, kata Luke Parry pada pertemuan Association for Tropical Biology and Conservation (ATBC) tahun ini di San José, Kosta Rika.

Eksodus penduduk desa bisa dipandang memberi keuntungan bagi keragaman hayati karena wilayah hutan yang dibersihkan untuk pertanian bisa menurun dan berkurangnya tekanan terhadap populasi alam liar; walaupun menurut Parry, hubungan positif terhadap migrasi tidak berarti langsung begitu saja, begitu pula skenario menang-menang (win-win) tidak bisa dengan mudah diraih, setidaknya di Amazon Brasil.

“Keluarga desa yang bermigrasi ke kota tidak juga lebih baik. Sebagian besar migran tetap miskin dan tak terdidik—dan mereka tetap mengkonsumsi satwa liar, malah banyak,” kata Parry.

Berdasarkan riset mengevaluasi dampak migrasi desa ke kota di dua kota kecil di Sungai Madeira di Amazon Brasil, Parry dapat menentukan bahwa migran yang meninggalkan rumah desa untuk mencari peluang kerja lebih baik, tetap memiliki akses rendah terhadap ketenagakerjaan kota yang baik dan sebagian besar gagal lari dari kemiskinan.

Meningkatkan akses pendidikan diidentifikasi Parry sebagai salah satu pendorong utama migrasi ke wilayah kota.

“Mereka pergi untuk mencari peluang pendidikan,” kata Parry. “Migran percaya bahwa pendidikan lebih baik akan membuka pintu bagi peluang ekonomi dan meningkatkan kesejahteraan. Namun, bahkan ketika akses layanan pendidikan dimungkinkan, pendapatan migran desa ke kota tetap rendah.”

Eksodus populasi desa tidak mengarah pada peningkatan keragaman hayati pula: secara virtual semua keluarga urban dalam survei Parry mengonsumsi alam liar, termasuk ikan, hewan buruan, kura-kura dan sejenis reptilia Caiman.

Konsumsi ini mencakup spesies terancam punah. Akibatnya, pemanenan spesies liar tidak turun, seperti diharapkan. Sedikit bertentangan, migran tidak kehilangan selera terhadap hewan liar ketika mereka mulai hidup baru di wilayah kota dan tuntutan kota terhadap hewan liar meningkatkan tekanan terhadap kehidupan liar di wilayah kota.

“Kehidupan liar menjadi terurbanisasi. Ini mengarah pada potensi terjadinya krisis hewan liar atau dapat meningkatkan konservasi serta perburuan berlanjut hewan liar di Amazonia”.

Namun, konklusi Parry belum definitif. Riset dilakukan Nathalie Van Vliet, yang juga anggota panel, menemukan hasil berlawanan di Kolumbia dan Amazon Brasil; sejalan dengan orang pindah ke kota, dengan preferensi terhadap daging hewan liar, mereka meninggalkan konsumsi daging liar dan menggantikannya dengan ayam, telur dan daging olahan lain yang murah.

Temuan Parry menggambarkan bahwa tidak semua populasi kota Amazonia bergeser dari makanan tradisional, mereka juga mengalami transisi nutrisi yang diidentifikasi oleh Van Vliet. Protein binatang yang paling sering dikonsumsi adalah ayam dan ikan,” katanya.

Riset Parry, yang melihat konsumsi (ya atau tidak) spesies berbeda dalam periode 12 bulan, mengidentifikasi kemiskinan sebagai penduga kuat berburu dan memancing. Bagaimanapun, sementara migran miskin mengambil primata terancam, burung dan spesies ikan tabu, migran lebih kaya membel ikan dan kura-kura yang terancam punah.

Dampak negatif migrasi desa-kota oleh petani juga terdokumentasi dalam kasus Peru dan Meksiko.

Sebuah kajian CIFOR mengaitkan bekas wilayah desa lebih sering terkena kebakaran besar di Amazon Peru (Uriarte et al. 2012), sementara riset yang dilakukan di Meksiko oleh James Robson dan Fikret Berkes, mengindikasikan bahwa migrasi berkontribusi terhadap hilangnya praktik tata kelola tradisional yang pada gilirannya mengarah pada penurunan keragaman hayati.

Menurut Parry, semuanya menunjuk pada “sebuah badai sempurna: tingkat kemisikinan tinggi, bekas wilayah besar hutan yang terlantar kini terbuka bagi deforestasi lanjut, dan terdapat peningkatan kebutuhan terhadap daging hewan liar untuk mensuplai meningkatnya populasi kota”.

Untuk informasi lebih mengenai topik yang didiskusikan dalam artikel ini, silahkan hubungi Nathalie Van Vliet di vanvlietnathalie@yahoo.com atau Migeuel Pinedo-Vasquez di m.pinedo-vasquez@cgiar.org.

Karya ini merupakan bagian dari Program Riset CGIAR mengenai Hutan, Pohon dan Agroforestri

Kebijakan Hak Cipta:
Kami persilahkan Anda untuk berbagi konten dari Berita Hutan, berlaku dalam kebijakan Creative Commons Attribution-NonCommercial-ShareAlike 4.0 International (CC BY-NC-SA 4.0). Peraturan ini mengijinkan Anda mendistribusikan ulang materi dari Kabar Hutan untuk tujuan non-komersial. Sebaliknya, Anda diharuskan memberi kredit kepada Kabar Hutan sesuai dan link ke konten Kabar Hutan yang asli, memberitahu jika dilakukan perubahan, termasuk menyebarluaskan kontribusi Anda dengan lisensi Creative Commons yang sama. Anda harus memberi tahu Kabar Hutan jika Anda mengirim ulang, mencetak ulang atau menggunakan kembali materi kami dengan menghubungi forestsnews@cifor-icraf.org