Berita

Kredibilitas data, kunci Indonesia mengatasi kebakaran hutan, tantangan terkait emisi: pakar

Berpikir bahwa kebakaran hutan hanyalah kecelakaan akan membuat kita mendiskusikan hal yang sama di tahun depan namun tanpa resolusi.
Bagikan
0
Penelitian oleh Center for International Forestry Research tentang kebakaran di Sumatera di tahun 2013 menunjukkan, hampir seperempatnya terjadi pada perkebunan industri kelapa sawit dan akasia, serta hanya sedikit yang terjadi di hutan alam. Kredit Foto: gambar NASA oleh Jeff Schmaltz/LANCE/EOSDIS Respons cepat, Observatori bumi NASA

Bacaan terkait

Warsawa, Polandia (10 Desember 2013) – Informasi akurat mengenai penyebab kebakaran liar dan jumlah emisi karbon yang dihasilkannya cukup rawan jika Indonesia masih menginginkan mencapai target pengurangan emisinya, ujar pakar dalam acara tambahan pada pertemuan iklim PBB di Warsawa, Polandia.

Di awal tahun ini, kebakaran melanda sejumlah bagian di Pulau Sumatera, Indonesia – menyebabkan asap yang terbawa hingga Selat Malaka dan memecahkan rekor polusi udara di Singapura dan Malaysia.

Daniel Murdiyarso, peneliti utama di Center for International Forestry Research (CIFOR) menyatakan bahwa perhatian media internasional terhadap apa yang terjadi harus diartikan untuk segera mendanai penelitian yang lebih mendalam – serta komitmen Indonesia untuk menangani masalah tersebut.

“Asap tersebut muncul di saat yang salah dan waktu yang salah pula – itulah kenapa segera mendapat perhatian dari media,” kata Murdiyarso. “Jika asapnya tertiup angin ke arah Lautan Hindia, maka ceritanya akan lain.”

Ketika menteri lingkungan hidup dari Malaysia, Singapura, Thailand, dan Brunei bertemu pada bulan Juli untuk mendiskusikan tentang kebakaran, mereka meminta Indonesia melakukan usaha lebih untuk mengatasinya.

Pengiriman Data

Murdiyarso menambahkan bahwa ini adalah kesempatan bagi Indonesia untuk menginvestasikan teknologi yang akan memampukan negara dalam pengukuran ‘data aktivitas” dan “faktor emisi” secara akurat – dimanfaatkan untuk mengakses emisi GRK akibat konversi hutan menjadi lahan pertanian.

“Ini adalah proses panjang yang terus menerus – kita harus menginformasikan komunitas kebijakan dengan data yang sangat kredibel,” lanjut Murdiyarso.

Bagi Indonesia, ini akan memberikan data lebih tentang penyebab serta akibat dari kebakaran serta memampukan pemerintah untuk mengidentifikasi aksi-aksi yang dapat membantu pencapaian target pengurangan emisi GRK sebesar 26% di tahun 2020, terangnya.

“Mengamati skala dan penyebab emisi karbon dari alih fungsi lahan, ini bagaikan buah yang bergantung rendah. Di lahan gambut, sebuah kebakaran yang terjadi bisa menghasilkan lebih dari lima hingga enam kali emisi karbon dibandingkan dengan yang dihasilkan dari pembersihan di areal yang sama dengan tujuan berbeda.”

“Ini berarti mengatasi dan memusatkan penyebab kebakaran adalah sesuatu yang dapat dilakukan pemerintah dengan relatif cepat, namun berdampak besar terhadap emisi dan polusi lintas batas.”

Penelitian CIFOR tentang kebakaran menunjukkan bahwa di hampir seperempatnya di bulan Juni, kebakaran terjadi di perkebunan industri kelapa sawit dan akasia, serta sebagian kecil di hutan alam.

Namun, penelitian memunculkan lebih banyak pertanyaan ketimbang jawaban.

Penyebab yang kompleks

“Kebakaran tahun ini cukup menarik karena tidak terjadi pada tahun El Niño,” ungkap Murdiyarso, merujuk pada fenomena cuaca yang biasanya menyebabkan kondisi kering di sebagian besar wilayah Indonesia.

Orang-orang biasanya menunggu datangnya prediksi musim kemarau, terang Murdiyarso,  untuk membakar lahan. Namun tahun ini ternyata tidak sekering biasanya. “Jadi kemungkinan ada sesuatu yang menyebabkannya terbakar – mungkin pasar sangat menggiurkan sehingga dengan cepat menarik budidaya tanaman pertanian, agar segera bisa menghasilkan komoditas untuk memenuhi pasar.”

“Orang-orang cenderung berpikir bahwa kebakaran merupakan kecelakaan, yang dipicu oleh sesuatu biofisik – namun kerap pula pasar yang menyebabkannya. Realitas sosio-ekonomi di lapangan jauh lebih kompleks dari yang kita pikirkan.”

Ketika tetangga Indonesia juga menderita akibat efek asap, kebakaran telah berdampak parah secara lokal – menyebabkan masalah pernafasan bagi anak-anak dan orang tua, serta berakibat pada penghidupan, terang Murdiyarso.

Pemerintah lokal juga harus terlibat lebih untuk mengatasi masalah, tidak hanya dengan memerangi kebakaran, namun juga mencegahnya lewat perencanaan tata guna lahan yang tepat, lanjutnya.

“Saya berharap isu yang relevan secara lokal ini dapat dikaitkan dengan baik dalam inisiatif global, sehingga aktivitas di lapangan, baik lokal maupun nasional, sesuai dengan kepentingan global untuk mengurangi emisi GRK,” pungkas Murdiyarso.

Farhan Helmy, sekretaris kelompok kerja mitigasi di Dewan Nasional Perubahan Iklim Indonesia (DNPI), menyatakan bahwa pemerintah tengah menangani masalah kebakaran tersebut dengan serius.

Sejak bulan Juli, DNPI telah bekerja berdasar laporan yang komprehensif mengenai pemicu beserta emisi GRK yang berasal dari kebakaran tersebut. Laporan ini akan diluncurkan beberapa minggu ke depan.

DNPI bertujuan untuk berbagi laporan dengan kementerian yang terkait serta sektor-sektor lain yang tertarik serta membuka dialog antara para ilmuwan dan para pembuat kebijakan mengenai hal itu.

“Kekhawatiran saya adalah bahwa kita akan mendiskusikan hal yang sama di tahun depan – namun tanpa resolusi. Dan yang kita lakukan hanyalah menunggu hujan datang – jadi kita harus memiliki solusi yang komprehensif untuk menanganinya,” lanjut Helmy.

“Kita harus menghentikan apa yang terjadi sekarang – cukup untuk semuanya.”

Untuk informasi lebih lanjut mengenai topik yang didiskusikan dalam tulisan ini, silakan menghubungi Daniel Murdiyarso, d.murdiyarso@cgiar.org.

Tulisan ini adalah bagian dari Penelitian CGIAR tentang Hutan, Pohon dan Agroforestri.

Kebijakan Hak Cipta:
Kami persilahkan Anda untuk berbagi konten dari Berita Hutan, berlaku dalam kebijakan Creative Commons Attribution-NonCommercial-ShareAlike 4.0 International (CC BY-NC-SA 4.0). Peraturan ini mengijinkan Anda mendistribusikan ulang materi dari Kabar Hutan untuk tujuan non-komersial. Sebaliknya, Anda diharuskan memberi kredit kepada Kabar Hutan sesuai dan link ke konten Kabar Hutan yang asli, memberitahu jika dilakukan perubahan, termasuk menyebarluaskan kontribusi Anda dengan lisensi Creative Commons yang sama. Anda harus memberi tahu Kabar Hutan jika Anda mengirim ulang, mencetak ulang atau menggunakan kembali materi kami dengan menghubungi forestsnews@cifor-icraf.org