Laporan: Hutan bisa berperan membantu menciptakan curah hujan

Di daerah tropis, kehilangan tutupan hutan secara luas umumnya terkait dengan sedikitnya hujan.
Bagikan
0
Perubahan tutupan hutan juga bisa jadi penyebab di balik dirasakannya pergeseran ke arah timur zona curah hujan di Asia Tenggara kata Douglas Sheil, seorang ilmuwan asosiasi dengan Center for International Forestry Research. Kredit foto https://www.flickr.com/photos/berzosa/

Bacaan terkait

LIMA, Peru (12 Mei 2014) – Model iklim saat ini tampaknya menyepelekan keseluruhan dampak vegetasi hutan terhadap pola curah hujan, mengindikasikan bahwa konsekuensi potensial perubahan tutupan lahan terhadap kenaikan suhu global tidak dapat dinilai dengan pasti, demikian menurut penelitian terbaru.

Curah hujan tidak menentu bisa memburuk karena deforestasi, kata Douglas Sheil, seorang ahli ekologi dari Universitas Ilmu Pengetahuan Alam Norwegia dan peneliti mitra Pusat Penelitian Kehutanan Internasional (CIFOR).

Perubahan tutupan hutan juga bisa jadi penyebab di balik dirasakannya pergeseran ke arah timur zona curah hujan di Asia Tenggara, dengan potensi dampak regional dan global yang mungkin telah ditunjukkan oleh ganasnya kebakaran di Sumatera, Indonesia, pada 2013 dan menyebabkan kabut tebal, kata Sheil.

“Vegetasi bisa jadi memiliki efek lebih besar terhadap iklim daripada yang kita sadari,” kata Sheil, dalam sebuah makalah baru menyatakan temuan tersebut memerlukan perhatian segera dari para ilmuwan yang mempelajari tanaman dan hutan.

Di daerah tropis, kehilangan tutupan hutan secara luas umumnya terkait dengan sedikitnya hujan dan melemahnya monsun, meskipun dampak iklim kering belum sepenuhnya dipahami oleh para ilmuwan. Model standar yang digunakan untuk memperkirakan perubahan iklim memperhitungkan sifat fisik hutan – cara mereka memantulkan sinar matahari atau gesekan yang tercipta akibat angin bertiup ke arah mereka – tetapi mengabaikan proses biologis yang dapat memengaruhi aliran udara dan signifikanis pembentukan awan untuk produksi hujan, kata Sheil.

Presipitasi terbentuk ketika atmosfer menarik kelembapan dari lautan dalam bentuk uap air, kemudian mengembun dan jatuh sebagai hujan, hujan es, atau salju. Secara global, sekitar dua per tiga presipitasi ini kembali ke atmosfer sebagai uap air, dan sebagian besar dari uap air tersebut jatuh lagi di darat.

Sebuah penelitian baru-baru ini, dikutip dalam makalah Sheil, menunjukkan bahwa angin yang berembus melalui hutan biasanya menghasilkan hujan dua kali lebih banyak daripada angin yang berembus di atas lahan terbuka, mengarah pada prediksi para ilmuwan bahwa pada 2050 daerah tropis bisa mengalami 12 persen dan 21 persen penurunan curah hujan pada musim hujan dan kering.

TRANSPIRASI POHON

Kelembapan yang diserap pohon melalui akarnya kemudian menguap melalui pori-pori di daun yang disebut stomata. Vegetasi dapat berkontribusi hingga 90 persen kelembapan di atmosfer yang berasal dari permukaan tanah – jauh melebihi perkiraan sebelumnya, menurut penelitian terbaru. Pohon menghasilkan aliran uap air yang biasanya lebih dari 10 kali lipat dari vegetasi herba per unit luas lahan, melebihi yang dihasilkan oleh tanah basah atau perairan terbuka. Transpirasi “adalah proses biologis aktif” yang tidak sepenuhnya tercermin dalam fisik model iklim, kata Sheil.

Misalnya, peningkatan karbon dioksida atmosfer dapat menjadikan hutan lebih luas dan padat sehingga menyimpan lebih banyak karbon, katanya, tetapi juga dapat memengaruhi jumlah kelembapan atmosfer yang mereka hasilkan – dan, oleh karena itu, jumlah curah hujan di atas hutan dan melawan arah angin.

“Peningkatan karbon dioksida mengurangi keharusan tanaman membuka stomata mereka. Salah satu respons adalah dengan lebih banyak menutup stomata, mereka lebih sedikit bertranspirasi, dan mereka dapat menghasilkan pertumbuhan yang sama dengan transpirasi yang lebih sedikit,” kata Sheil. “Kurangnya transpirasi memiliki dampak besar pada iklim. Itu merupakan respons biologis aktif terhadap peningkatan karbon dioksida – ini bukan hanya persoalan fisika,” dan hal ini tidak masuk ke dalam model iklim yang didasari pada prinsip-prinsip fisik semata, katanya.

Biologi dan fisika mungkin terkait lebih erat daripada yang diyakini sebelumnya, menurut sebuah ide tentang bagaimana hutan menghasilkan hujan yang membuat mereka bertumbuh.

POMPA BIOTIK

Salah satu saran yang lebih kontroversial adalah bahwa hutan memengaruhi tekanan atmosfer. Konsep ini, disebut “pompa biotik”, menyatakan bahwa udara lembap ditarik saat naik di atas kawasan hutan, kemudian mengembun dan menciptakan daerah tekanan rendah yang menarik lebih banyak udara lembap, hingga menciptakan lingkaran umpan balik positif.

Deforestasi memutus siklus ini, mengganggu presipitasi dan membuatnya lebih bervariasi, tidak hanya dengan mengurangi transpirasi dan pembentukan awan, tetapi juga dengan memperlambat atau mengganggu aliran udara ke pedalaman dari daerah pesisir. Itu berarti semakin sedikit kelembapan dari luar area yang jatuh sebagai hujan menyebabkan pengeringan hutan semakin berlanjut serta berkurangnya transpirasi dan presipitasi. Hal ini membentuk lingkaran umpan balik negative yang dapat – dalam skenario ekstrem-mengubah kawasan hutan yang lembap menjadi lingkungan kering.

“Jika hutan berpotensi mendorong aliran udara tersebut, dan ketika kita kehilangan sejumlah besar hutan, atau penurunan transpirasi dengan peningkatan karbon dioksida atmosfer, kita mungkin dapat menyaksikan melemahnya angin tersebut,” ujar Sheil. “Dan itulah yang telah diidentifikasi di seluruh daerah tropis dan sub – tropis, meskipun kami masih belum bisa memastikan penyebabnya.”

POHON UNTUK AWAN

Pohon juga memengaruhi pembentukan awan dengan memancarkan bahan kimia berbasis karbon yang disebut senyawa organik volatil (VOCs) ke atmosfer.

Beberapa senyawa tersebut didepositkan pada partikel udara kecil seperti debu, bakteri, serbuk sari, dan spora jamur. Seiring pertumbuhan partikel dengan pengendapan VOC, mereka mendorong kondensasi dan mengumpulkan kelembapan yang dihasilkan, mempercepat pembentukan awan, kata Sheil.

Satu penelitian menemukan 555 VOC yang berbeda pada kebun jeruk tunggal di California. Penelitian di Amazon menunjukkan bahwa aerosol tersebut mungkin memainkan peran kunci dalam kedua siklus hidrologi dan reproduksi biologis di hutan.
“Ini luar biasa kompleks, dan dalam arti kita masih seperti di zaman kegelapan,” kata Sheil. “Ada tautan, tapi kita tidak benar-benar memahaminya.”

Untuk informasi lebih lanjut tentang penelitian ini, hubungi Douglas Sheil di Douglas.Sheil@nmbu.no

Kebijakan Hak Cipta:
Kami persilahkan Anda untuk berbagi konten dari Berita Hutan, berlaku dalam kebijakan Creative Commons Attribution-NonCommercial-ShareAlike 4.0 International (CC BY-NC-SA 4.0). Peraturan ini mengijinkan Anda mendistribusikan ulang materi dari Kabar Hutan untuk tujuan non-komersial. Sebaliknya, Anda diharuskan memberi kredit kepada Kabar Hutan sesuai dan link ke konten Kabar Hutan yang asli, memberitahu jika dilakukan perubahan, termasuk menyebarluaskan kontribusi Anda dengan lisensi Creative Commons yang sama. Anda harus memberi tahu Kabar Hutan jika Anda mengirim ulang, mencetak ulang atau menggunakan kembali materi kami dengan menghubungi forestsnews@cifor-icraf.org