Liputan Khusus

Bambu, rotan menawarkan ‘peluang’ dalam perubahan iklim

Kelebihan bambu dan rotan adalah kemampuan adaptasi dan mitigasi secara simultan dengan spesies sumber daya luar biasa bagi manusia.
Bagikan
0
Petani bambu di China. Foto: Nick Hogarth/ CIFOR

Bacaan terkait

JAKARTA, Indonesia — Bambu dan rotan memberikan “peluang besar” untuk mitigasi dan adaptasi perubahan iklim, kata Rajendra K. Pachauri, Ketua Panel Perubahan Iklim Antar-pemerintah (IPCC), berbicara pada panelis di konferensi.

Pachauri memulai diskusi Pertemuan Puncak Forests Asia di Jakarta dengan melafalkan rentetan ancaman besar kemanusiaan terkait perubahan iklim kecuali tindakan signifikan mitigasi dan adaptasi diadopsi, seperti dijelaskan dalam laporan IPCC terbaru. Ancaman termasuk kenaikan rata-rata temperatur, kejadian iklim ekstrim, dan kenaikan permukaan laut.

Dalam momen optimis, Pachauri mencatat: “Terdapat pula peluang besar di sini karena hutan, serta bambu dan rotan khususnya, adalah sumber besar penyimpanan karbon dioksida.”

“Kelebihan bambu dan rotan serta spesies hutan penting lain,” lanjut Pachauri, “adalah Anda bisa melaksanakan adaptasi dan mitigasi secara simultan dengan berfokus pada spesies yang benar-benar menjadi sumber daya luar biasa bagi manusia.”

Penelitian oleh Pusat Penelitian Kehutanan Internasional (CIFOR) dan International Network for Bamboo and Rattan menunjukkan nilai bambu sebagai sumber daya rendah karbon untuk makanan, material konstruksi, serat dan bahkan energi ketika sisa material digunakan sebagai arang. Bambu dapat menyediakan ini semua seraya mendukung keragaman hayati tingkat tinggi yang diperlukan untuk menjaga jasa lingkungan. Mengingat bambu tumbuh cepat dalam kondisi sulit, seperti lereng, bambu bisa menjadi alternatif penting untuk tanaman lain dan berkontribusi secara signifikan menjadi pendapatan dan sumber daya desa miskin.

Bambu dan rotan adalah dua dari banyak produk hutan bukan kayu (PHBK) yang seringkali tak masuk hitungan informasi kebijakan karena tidak secara jelas diklasifikasi sebagai pertanian atau kayu, dan akibatnya tidak ada dalam pantauan, baik kementerian pertanian atau kehutanan, kata Manoj Nadkarni, Manajer Program Produk Hutan Bukan Kayu di INBAR.

Mengingat hal ini, “tata kelola berkelanjutan produk hutan bukan kayu memerlukan banyak koordinasi,” kata Hans Friederich, Direktur Jenderal INBAR.

Di Indonesia, Kementerian Kehutanan mengakui bahwa PHBK memerlukan perhatian lebih dalam kebijakan, kata Tachrir Fathoni, Kepala Badan Penyuluhan dan Pengembangan Sumber Daya Manusia Kehutanan, Kementerian Kehutanan.

Kayu hanya mewakili 10 persen nilai yang ditemukan dalam hutan, sementara 90 persen nilai ektraksi ada pada PHBK, papar Fathoni.

Dalam upaya memberi “rumah” bagi kebijakan PHBK, kementerian melakukan promosi beragam PHBK melalui beragam program khusus, kata Fathoni. Satu dekrit penting menginstruksikan pemegang ijin memberi akses pada desa hutan dan masyarakat dalam tata kelola hutan, termasuk akses pada produk hutan bukan kayu. Kementerian telah mengidentifikasi dan mengklasifikasi lebih dari 500 PHBK di Indonesia, kata Fathoni.

Pada 2009, kementerian menciptakan strategi pengembangan PHBK, memilih beberapa produk khusus dan wilayah percontohan. Strategi ini diharapkan meningkatkan baik penghidupan dan keragaman hayati. Fathoni juga menyoroti beberapa area yang membutuhkan upaya ekstra dalam mendukung pengembangan PHBK di Indonesia – masalah akurasi data dan informasi, pembangunan industri hulu dan hilir, dan keterbatasan ketersediaan teknologi pemrosesan.

Strategi PHBK Indonesia menawarkan contoh positif upaya pemerintah nasional memberi peran PHBK seperti bambu dan rotan. Panel menyimpulkan bahwa upaya seperti ini seharusnya dikembangkan.

Penelitian dan komunikasi adalah dua celah penting yang dilihat panel dalam pengembangan bambu dan rotan. Friederich meminta lebih banyak penelitian produksi dan penggunaan industrial bambu.

Sebagai tambahan, panel meminta komunikasi lebih baik untuk membujuk konsumen membeli lebih banyak bahan material seperti bambu dan rotan. “Masih ada orang menyebut bambu sebagai kayu orang miskin; saya menyebutnya kayu orang cerdas,” katanya. “Bagaimana kita meyakinkan orang tidak membeli jati tetapi membeli bambu,” katanya.

Pachauri meminta industri swasta mengisi celah ini. “Ini benar-benar tugas bagi disainer, pengiklan, orang pemasaran sehingga persepsi kita berubah soal bambu ini,” katanya. “dan itu akan membuat perubahan besar di keseluruhan lingkaran produksi, konversi dan pemasaran.”

Kebijakan Hak Cipta:
Kami persilahkan Anda untuk berbagi konten dari Berita Hutan, berlaku dalam kebijakan Creative Commons Attribution-NonCommercial-ShareAlike 4.0 International (CC BY-NC-SA 4.0). Peraturan ini mengijinkan Anda mendistribusikan ulang materi dari Kabar Hutan untuk tujuan non-komersial. Sebaliknya, Anda diharuskan memberi kredit kepada Kabar Hutan sesuai dan link ke konten Kabar Hutan yang asli, memberitahu jika dilakukan perubahan, termasuk menyebarluaskan kontribusi Anda dengan lisensi Creative Commons yang sama. Anda harus memberi tahu Kabar Hutan jika Anda mengirim ulang, mencetak ulang atau menggunakan kembali materi kami dengan menghubungi forestsnews@cifor-icraf.org