Liputan Khusus

Ekonomi “hijau” REDD+ kurangi ketergantungan akan sumber daya alam: Pakar

Prasyarat kunci bagi ekonomi lebih hijau adalah meningkatkan pendidikan. Dan ini tantangan terberat di Indonesia.
Bagikan
0
Mengumpulkan kayu dari lingkungan hutan di Jawa Barat, Indonesia. Ketergantungan negara pada modal alam bagi pembangunannya, REDD+ dapat menjadi langkah awal transisi menuju ekonomi hijau di Indonesia, demikian menurut ahli PBB. Photo @CIFOR

Bacaan terkait

JAKARTA, Indonesia — Indonesia harus mengurangi ketergantungan ekonomi terhadap sumber daya alam dengan meningkatkan investasi penelitian dan pengembangan untuk mendorong pembangunan industri berkelanjutan dan “menghijaukan” ekonominya, demikian menurut pakar perubahan iklim.

“Indonesia menunjukkan pertumbuhan signifikan dalam dekade terakhir, tetapi pertumbuhan tersebut berbasis pada percepatan ekstraksi sumber daya dan komoditas – khususnya minyak sawit – dan tidak cukup meningkatkan produktivitas buruh, kata Johan Kieft, kepala Unit Ekonomi Hijau di Perwakilan PBB untuk Koordinasi REDD+ di Indonesia (UNORCID).

Mekanisme REDD+  (Reduksi Emisi dari Deforestasi dan Degradasi hutan), yang menjadi bagian perundingan perubahan iklim PBB hampir 10 tahun, menyatakan negara berkembang dapat mengurangi gas rumah kaca dengan menurunkan deforestasi dan degradasi hutan, menjaga hutan, meningkatkan jumlah tanam pohon, serta mendorong tata kelola dan pemanfaatan hutan berkelanjutan.

Prasyarat kunci bagi ekonomi lebih hijau adalah meningkatkan pendidikan, kata Kieft di Pertemuan Puncak Forests Asia di Jakarta, Indonesia.

“Kualitas pendidikan di Indonesia tetap rendah dibanding negara-negara berpendapatan menengah lain,” kata Kieft. “Pengalaman di manapun mengajarkan bahwa tenaga kerja terdidik adalah faktor penting untuk membuat perubahan ini. Di negara di mana ekonomi bergerak dari ekstraksi sumber daya menuju basis manufaktur lebih kuat, tekanan terhadap hutan menurun dan tutupan hutan meningkat.”

Dari perspektif Kieft, Konferensi bertujuan memberi kejernihan terhadap REDD+ dan cara lain tata kelola hutan berkelanjutan dan pembiayaan lanskap.

Beberapa diskusi dalam acara tersebut terfokus pada ikatan hijau, yang mengarah pada gagasan baru mengenai bagaimana mengembangkan cara inovatif mendanai tata kelola lahan berkelanjutan di Asia, kata Kieft, seraya menambahkan bahwa REDD+ didisain dengan baik untuk mengatasi deforestasi dan degradasi hutan terencana dalam lanskap di mana hutan memberi jasa lingkungan penting seperti retensi air, simpanan karbon dan keragaman hayati.

Menerapkan mekanisme REDD+ akan menjadi langkah penting menuju penguatan modal alam negara yang bergantung pada sumber alam untuk pembangunan mereka, usulnya.

“Dalam banyak kasus, ketergantungan terhadap sumber alam mengarah pada kehilangan signifikan simpanan modal alam, yang pada gilirannya menghambat potensi pembangunan jangka panjang negara-negara ini,” kata Kieft.

“Indonesia – khususnya pulau lebih luar – akan tetap bergantung pada modal alam dalam pembangunan mereka untuk masa depan terduga, oleh karena itu di sinilah urgensi untuk memulai aktivitas REDD+ sebagai langkah awal transisi menuju ekonomi hijau.”

 

Kebijakan Hak Cipta:
Kami persilahkan Anda untuk berbagi konten dari Berita Hutan, berlaku dalam kebijakan Creative Commons Attribution-NonCommercial-ShareAlike 4.0 International (CC BY-NC-SA 4.0). Peraturan ini mengijinkan Anda mendistribusikan ulang materi dari Kabar Hutan untuk tujuan non-komersial. Sebaliknya, Anda diharuskan memberi kredit kepada Kabar Hutan sesuai dan link ke konten Kabar Hutan yang asli, memberitahu jika dilakukan perubahan, termasuk menyebarluaskan kontribusi Anda dengan lisensi Creative Commons yang sama. Anda harus memberi tahu Kabar Hutan jika Anda mengirim ulang, mencetak ulang atau menggunakan kembali materi kami dengan menghubungi forestsnews@cifor-icraf.org