Liputan Khusus

Jadi atau tidak, para pakar optimis akan kemajuan safeguards REDD+

Banyak orang khawatir implementasinya akan mengusir masyarakat adat dari tanah mereka atau perusahaan besar akan masuk.
Bagikan
0
Indonesia melakukan uji coba SIS di Kalimantan Timur dengan mengembangkan pola informasi SIS dari bawah-ke-atas. Achmad Ibrahim/CIFOR

Bacaan terkait

LIMA, Peru—Meskipun tidak ada pergerakan mengenai masalah safeguards REDD+ di Lima bulan ini, para pakar di diskusi panel di Forum Bentang Alam Global yang digelar bersamaan dengan konferensi iklim PBB (COP20) menyatakan ada tawaran harapan kemajuan safeguards di lapangan di beberapa negara.

“Ini hal yang menyenangkan bagi REDD+ dan bagi safeguards dari keluarnya berbagai pengalaman,” kata Joanna Durbin, Direktur Aliansi Iklim, Masyarakat & Keragaman Hayati (CCBA), yang bersama CARE International menjadi sekretariat Inisiatif Standar Sosial dan Lingkungan (SES) REDD+ — dan menjadi penyelenggara panel bersama CIFOR.

“Kami berada dalam sebuah inisiatif pertukaran dan pembelajaran antar negara yang mengarah pada kemunculan praktik baru dan baik— dan ini benar-benar membantu menekankan bagaimana REDD+ dapat menjadi bagian strategi pembangunan berkelanjutan lebih luas,” katanya.

  • Untuk berita, riset and analisis lebih dari UNFCCC COP20 serta forum bentang alam global, kunjungi cifor.org/lima.

Safeguards REDD+ adalah tindakan mitigasi ancaman sosial dan lingkungan yang mungkin muncul akibat implementasi REDD+, mekanisme sukarela pemberian insentif bagi negara berkembang untuk menghindari deforestasi.

“Ketika REDD+ berjalan, banyak orang khawatir bagaimana implementasinya, dan apakah ini akan mengusir masyarakat adat dari tanah mereka, atau perusahaan swasta besar akan masuk, atau bahwa pohon akan ditanam secara monokultur,” kata Joanna.

Pada COP16 di Cancun 2010, tujuh safeguards umum disepakati, yaitu meliputi tata kelola, hak, partisipasi, persetujuan, manfaat lingkungan dan sosial, ketetapan dan kebocoran.

“Jadi [safeguards] tidak hanya semacam tambahan, daftar periksa prasyarat yang Anda lakukan, tapi merupakan bagian integral yang membuat REDD+ lebih efektif dan menjamin hasil seluruh tujuan pembangunan berkelanjutan.”

TUNJUKKAN SAYA JALAN?

Tahun lalu, pada COP19 di Warsawa, negara-negara sepakat bahwa pemerintah ‘seharusnya’ menyediakan informasi tiap dua tahun mengenai bagaimana mereka patuh pada safeguards Cancun untuk layak mendapat pembayaran berbasis hasil.

Tindakan kepatuhan tersebut dikenal sebagai Sistem Informasi Safeguards (SIS), yang disepakati pada COP17 di Durban.

Banyak negara berpikir akan sangat membantu memiliki panduan lebih lengkap

Pada saat ini, sebagian besar negara umumnya mengembangkan sistemnya sendiri—dan diskusi COP tahun ini di lima terpusat pada bagaimana seharusnya lebih banyak panduan internasional mengenai apa simpulan SIS seharusnya berisi.

Inilah yang menjadi titik hambat negosiasi.

“Banyak negara berpikir akan sangat membantu memiliki panduan lebih lengkap karena mereka bisa tahu apa yang perlu mereka berikan pada dunia luar, donor dan lembaga pembiayaan untuk bisa cukup berterima,” kata Joanna.

“Tetapi juga ada dorongan balik dari beberapa negara yang menerapkan REDD+ dan mereka tidak ingin diberitahu apa yang harus dilakukan.”

BISA PILIH JALAN SENDIRI

Pada saat yang sama, menurut Joanna, negara-negara berinovasi dan mengembangkan Sistem Informasi Safeguards sendiri. Belajar dari pengalaman tersebut, sekaligus melihat ke depan tantangan dan peluang mengoperasionalkan pengaman lebih luas, adalah fokus panel GLF ini.

Di Indonesia, misalnya, pemerintah sedang menguji sistem SIS REDD+ pada tingkat provinsi di Kalimantan Timur.

Novia Widyaningtyas, Kepala Divisi Perubahan Iklim Kementerian Lingkungan dan Kehutanan Indonesia, pada panel menyatakan bahwa negara donor bisa belajar dari pengalaman Kalimantan Timur—dan proses mengembangkan SIS seharusnya dari bawah-ke-atas.

“Institusi global dan donor yang telah atau tengah mengembangkan kerangka safeguards sendiri bisa mengambil manfaat dengan menselaraskan hasil pengembangan oleh negara-negara REDD+ untuk memudahkan implementasi,” katanya.

Tetapi menjaga sistem beroperasi adalah tantangan, kata Widyaningtyas mengingatkan, dan membutuhkan kemauan serta sumber daya—membuat negara seperti Indonesia berharap investasi dalam sistem ini diberikan melalui pembayaran berbasis kinerja di bawah REDD+ atau skema serupa.

Riset terbaru mencari kekhususan di Kalimantan oleh Pusat Penelitian Kehutanan Internasional (CIFOR) menemukan terdapat potensi menjaga safeguards REDD+ pada standar seteliti pengukuran, pelaporan dan verifikasi (MRV) karbon— tetapi pendanaan pada tingkat nasional dan subnasional sangat rendah, sehingga sistem harus rendah-biaya, teliti dan berkelanjutan.

MASYARAKAT ADAT: ‘UTAMAKAN HAK KAMI’

Perwakilan masyarakat adat di panel menekankan kekhawatiran dan prioritas mereka pada safeguards.

Cándido Mézua Salazar, Ketua Koordinator Nasional Masyarakat Adat Panama, di panel menyatakan ia memandang safeguards sebagai jalan untuk melindungi cara hidup masyarakat adat.

“Pelibatan penuh dan efektif harus ada di semua taham dan proses semua program REDD+–jika tidak safeguards tidak berdampak,” katanya.

“Kita perlu memiliki aturan yang sangat jelas dan elemen pertama sistem ini harus memiliki mekanisme kepatuhan dan penindakan.”

“Utamakan hak kami,” katanya.

Toby Gardner, Mitra Riset Institut Lingkungan Stockholm (SEI) menyatakan bahwa sangat penting mendapatkan safeguards yang benar.

Penentu apakah ini cukup bagus adalah pemangku kepentingan di negara bersangkutan

“Bahasa ‘safeguards’ dan ‘informasi’ tidak lantas memberi pembenaran terhadap pentingnya masalah yang ktia bicarakan,” katanya.

“Kita harus berpikir keras bagaimana cara paling efektif dan realistis membangun proses partisipatoris yang membebaskan dan memberi akses informasi adalah prakondisi proses agar efektif, melegitimasi, dan berkelanjutan.

Dan, yang paling penting, kata Joanna, bukanlah persetujuan negara donor.

“Penting bahwa safeguards diimplementasikan dengan cara yang memuaskan pemangku kepentingan, warga negara, yang terpengaruh REDD+ atau yang mendapat manfaat darinya,” katanya.

“Penentu apakah ini cukup bagus adalah pemangku kepentingan di negara bersangkutan.”

Kebijakan Hak Cipta:
Kami persilahkan Anda untuk berbagi konten dari Berita Hutan, berlaku dalam kebijakan Creative Commons Attribution-NonCommercial-ShareAlike 4.0 International (CC BY-NC-SA 4.0). Peraturan ini mengijinkan Anda mendistribusikan ulang materi dari Kabar Hutan untuk tujuan non-komersial. Sebaliknya, Anda diharuskan memberi kredit kepada Kabar Hutan sesuai dan link ke konten Kabar Hutan yang asli, memberitahu jika dilakukan perubahan, termasuk menyebarluaskan kontribusi Anda dengan lisensi Creative Commons yang sama. Anda harus memberi tahu Kabar Hutan jika Anda mengirim ulang, mencetak ulang atau menggunakan kembali materi kami dengan menghubungi forestsnews@cifor-icraf.org