Analisis

Menghitung mundur konferensi Paris: 10 Isu iklim terkait hutan dan tata guna lahan

Tantangan kehutanan berserak dan berjalan sendiri-sendiri. Semua pihak perlu melakukan sinergi dan keterkaitan.
Bagikan
0
Sementara jam berdetak terus menuju COP21, inilah saatnya mempertimbangkan berbagai isu penting. Kredit foto: Robbert van der Steeg/Wikimedia Creative Commons

Bacaan terkait

Ketika kita mendekati paruh kedua tahun 2015 – dan Konferensi Perubahan Iklim Bonn – dengan harapan tinggi untuk tercapainya suatu kesepakatan iklim baru COP21 di Paris, tentunya bermanfaat untuk mengambil satu langkah mundur dan mempertimbangkan beberapa isu penting terkait tata guna lahan dan hutan yang saat ini sedang dinegosiasikan.

HAK ASASI MANUSIA

Kita telah melihat fokus yang belum pernah terjadi pada hak asasi manusia baru-baru ini dalam negosiasi perubahan iklim. Banyak usulan diajukan untuk mencakup berbagai acuan terhadap hak azasi manusia dalam teks Jenewa, dan juga beragam usulan tentang ‘pendekatan berbasis hak’ pada kesepakatan iklim baru, khususnya dalam pokok tata guna lahan dan hutan.

International Bar Association baru-baru ini telah menyoroti bagaimana perubahan iklim merusak hak-hak azasi yang dilindungi secara internasional, termasuk hak untuk hidup, kesehatan dan penghidupan.

Hal tersebut diperdebatkan oleh para pakar hukum terkemuka bahwa cakupan hak-hak azasi dalam teks Jenewa tetap tidak cukup. Di ADP 2.8, 18 negara menandatangani Ikrar Jenewa tentang Hak-hak Azasi dan Tindakan Iklim, yang menyerukan penguatan hubungan antara kedua proses tersebut. Banyak kesepakatan internasional yang dapat diterapkan terhadap hak-hak azasi sudah tersedia.

Para pihak perlu mempertimbangkan bagaimana hal-hal tersebut dan proses-proses lain yang relevan akan direflesikan dalam suatu kesepakatan iklim baru.

SINERGI MITIGASI-ADAPTASI

Tidaklah mengherankan bila masalah ini menerima lebih banyak perhatian saat ini dibanding sebelumnya ketika  IPCC, melalui  laporan penilaiannya yang ke-5 (AR5), telah menyediakan temuan ilmiah yang jauh lebih berguna tentang masalah tersebut.

AR5 menyadari bahwa berbagai kebijakan yang mengatur praktik-praktik pertanian dan konservasi serta pengelolaan hutan lebih efektif ketika melibatkan baik mitigasi maupun adaptasi, serta, yang penting, telah disadari bahwa berbagai manfaat tambahan dari adaptasi dapat timbul dari REDD+.

Sebuah contoh yang baik ialah tentang proyek-proyek restorasi mangrove , yang mengurangi emisi, sekuestrasi karbon, meningkatkan ketahanan dan meingkatkan penghidupan. Suatu manfaat dari memasukkan teks tentang sinergi adaptasi-mitigasi dalam suatu kesepakatan baru ialah bahwa hal tersebut mungkin akan mencegah tindakan mitigasi dari mengakibatkan dampak negatif terhadap adaptasi (maladaptasi) dan sebaliknya.

Untuk mengembangkan pendekatan tersebut lebih jauh, teks Jenewa berisi sebuah usulan untuk suatu Mekanisme Ketahanan Iklim dan Pembangunan Berkelanjutan.  Masalah tentang sinergi juga ada pada agenda untuk diskusi pada SBSTA 42, timbul dari suatu usulan untuk Gabungan Mekanisme Mitigasi-Adaptasi sebagai suatu pendekatan berbasis non-pasar pada pengelolaan hutan lestari.

Para pihak akan perlu melakukan pertimbangan serius terhadap berbagai sinergi dan keterkaitan ini dan potensi untuk meningkatkan ketahanan, mencapai berbagai manfaat non-karbon REDD+ dan melakukan berbagai kegiatan terkait lahan dan hutan yang mencapai banyak manfaat, khususnya adaptasi.

EMISI NET NOL

Teks Jenewa berisi suatu usulan sasaran yang akan dicapai emisi ‘net nol’, yang telah menarik perhatian dari mereka yang berfokus pada sektor lahan.

Ini disebabkan karena suatu target emisi “net nol” akan memerlukan sejumlah besar sekuestrasi, tergantung pada emisi terus-menerus, yang melibatkan ramifikasi berarti yang potensial untuk sektor lahan. Teks Jenewa juga mencerminkan pendekatan “net nol” dalam bagian definisi, yang mendefinisikan pengurangan emisi sebagai “jumlah dari semua pengurangan emisi dan peningkatan stok karbon.”

AR5 juga mengakui pentingnya suatu pendekatan “net nol” dan menempatkan penekanan pada suatu teknologi yang belum dibuktikan yang dikenal sebagai penangkapan dan penyimpanan karbon bioenergi (BECCS). Kita dapat mengharapkan banyak diskusi di berbagai koridor tentang masing-masing masalah ini, khususnya berbagai risiko dengan BECCS dan suatu pendekatan “net nol” termasuk risiko terhadap keamanan pangan, hak-hak penduduk asli, penduduk lokal dan keanekaragaman hayati.

Suatu perkembangan lebih jauh yang menarik adalah apakah suatu pendekatan ‘net nol’ dan berbagai teknologi seperti misalnya BECCS akan memicu terbukanya ruang dalam negosiasi untuk pengamanan sebagai tambahan dari yang telah ditetapkan untuk REDD+, tetapi terkait lebih luas dengan sektor lahan.

REDD+

Diharapkan bahwa REDD+ akan mendapat sedikit pengakuan dalam kesepakatan iklim baru, meskipun momentumnya telah hilang karena kurangnya dana, dan banyak negara terus berjuang dengan implementasinya di luar tingkat subnasional.

REDD+ bukan saja merupakan hal yang harus diawasi dalam negosiasi ADP, tetapi juga masih ada isu-isu ‘kosmetika’ yang tersisa yang harus diselesaikan dalam SBSTA sebagai bagian dari Kerangka kerja Warsawa tentang REDD+ yang telah disepakati.

Para pihak tampaknya tidak dapat mencapai kesepakatan mengenai hal-hal terkait panduan lebih lanjut tentang sistem informasi pengamanan, manfaat non-karbon dan berbagai mekanisme non-pasar. Selama isu-isu ini tetap tidak terselesaikan, implementasi REDD+ ‘di dalam negara’ akan dilemahkan, sebagaimana halnya momentum menyeluruhnya.

Merupakan hal penting untuk para Pihak agar membuat kemajuan dalam isu-isu ini di Bonn dan menghindari untuk memakai waktu yang tidak perlu di Paris. Menempatkan berbagai proses atau program kerja untuk menangani isu-isu ini mungkin merupakan pendekatan berguna untuk dipertimbangkan dalam periode pasca-2015.

PENDUDUK ASLI DAN MASYARAKAT LOKAL

Isu ini telah mendapat penekanan lebih besar dalam negosiasi iklim sejak kesepakatan pengamanan REDD+ di Cancun pada COP 16, tetapi tetap ada berbagai tantangan signifikan.  Dalam beberapa bagian tentang adaptasi, berbagai komitmen dan pembangunan kapasitas dalam teks Jenewa, berbagai opsi dikemukakan untuk memastikan pengakuan tentang pengetahuan tradisional penduduk Asli.

Pencakupan ini mungkin dipandang sebagai memberi dorongan, tetapi ada penghapusan-penghapusan yang nyata seperti misalnya dalam bagian terkait pengusulan transparansi Prinsip-prinsip Sektor Lahan, dan tidak ada acuan pada penduduk Asli atau masyarakat lokal di mana pun dalam bagian tentang mitigasi.

Selanjutnya, banyak acuan di seluruh teks tersebut merujuk hanya pada penduduk Asli dan gagal untuk merujuk pada masyarakat lokal, suatu klarifikasi penting yang sejalan dengan keputusan   pengamanan REDD+  UNFCCC Cancun. Terdapat juga masalah penting tentang kekayaan intelektual terkait dengan pengetahuan penduduk Asli.

Dukungan penduduk setempat, khususnya penduduk Asli dan masyarakat lokal, untuk berbagai aktivitas mitigasi dan adaptasi di dalam teritori mereka merupakan hal penting untuk keberhasilan mereka dan dengan demikian keberhasilan untuk kesepakatan iklim mana pun di masa depan.

PRINSIP-PRINSIP SEKTOR LAHAN

Dalam teks Jenewa diusulkan bahwa kesepakatan baru tersebut berisi kerangka kerja transparansi tunggal/gabungan yang dapat diterapkan pada semua Pihak. Dengan memerhatikan sektor lahan, ketika menetapkan suatu sistem pengukuran, pelaporan dan verifikasi (MRV) berbasis aturan yang dapat diterapkan oleh semua negara, banyak yang dapat dipelajari dari pelajaran-pelajaran REDD+.

Kerangka kerja MRV langkah-demi-langkah atau bertahap  untuk menetapkan Tingkat Acuan Emisi Hutan (FREL) atau Tingkat Acuan Hutan (FRL) dan untuk mengukur pengurangan emisi REDD+ dan pembuangan gas rumah kaca mengakui bahwa negara-negara berkembang harus memulai dengan kapasitas yang mereka miliki, membangun kekuatan mereka, dan memenuhi berbagai kesenjangan ketika mereka maju melewati fase-fase implementasi.

Keterlibatan masyarakat lokal dalam berbagai kegiatan pemantauan hutan nasional juga memiliki potensi untuk meningkatkan efisiensi pemantauan dengan biaya lebih rendah sambil mendorong transparansi dan pengelolaan hutan yang lebih baik. Karena banyak aktivitas REDD+ membahas aksi dan pelaku di luar hutan, pemantauan harus lebih luas dari wilayah hutan.

Pendekatan berfase terhadap REDD+ dan pendekatan langkah-demi-langkah terhadap MRV merupakan dua contoh yang mengakui kebutuhan untuk pembelajaran lebih banyak dan berbagai pendekatan yang didorong negara-negara individual.

PENDANAAN

Teks Jenewa menempatkan penekanan berarti pada  Dana Iklim Hijau (GCF) sebagai entitas pendanaan utama di bawah kesepakatan baru tersebut. Jendela-jendela baru yang diusulkan untuk ditetapkan dalam GCF memasukkan untuk REDD+, Kehilangan dan Kerusakan, dan alih teknologi.

Dapat diperdebatkan bahwa GCF merupakan sebagian cara untuk menetapkan jendela semacam itu untuk REDD+ melalui kerangka kerja 2014 yang spesifik untuk pembayaran-berbasis-hasil. Menariknya, meskipun banyak penekanan terhadap kebutuhan penting untuk pendanaan sektor swasta dalam REDD+, teks Jenewa berisi ketentuan yang menspesifikasi bahwa pendanaan iklim terutama harus dari berbagai sumber publik dengan sumber swasta sebagai tambahan.

Meskipun kompensasi REDD+ belum merupakan realitas politik, berbagai negara mungkin sudah disarankan dengan baik untuk maju terus dengan suatu agenda tanpa penyesalan, yang terdiri atas perataan jalan menuju mitigasi perubahan iklim, adaptasi dan pengelolaan sumber daya berkelanjutan, dengan mengimplementasikan berbagai kebijakan yang akan diinginkan dan bermanfaat untuk memenuhi banyak sasaran ini dalam jangka panjang, dengan atau tanpa REDD+.

Sasaran ini termasuk berfokus pada perubahan kebijakan yang akan diinginkan tanpa menghiraukan sasaran iklim, seperti misalnya klarifikasi tenurial lahan, menghapus subsidi yang menyimpang, dan memperkuat aturan hukum.

 PEMBANGUNAN KAPASITAS DAN ALIH TEKNOLOGI

Teks Jenewa mencakup berbagai ketentuan yang akan meminta para Pihak dari negara maju untuk menghilangkan berbagai rintangan terhadap pengaksesan teknologi dan untuk memampukan dan mempercepat pembangunan dan pengalihan teknologi bagi Para Pihak dari negara berkembang.

Ini akan merupakan satu langkah maju.  Kurangnya data spesifik negara dan regional mengenai resolusi tinggi membatasi kemampuan untuk mengkonversi estimasi area deforestasi, degradasi hutan dan tata guna lahan menjadi estimasi emisi, tampungan dan perubahan stok karbon yang dapat diandalkan untuk sebagian besar negara tropik.

Teks Jenewa juga mengusulkan suatu Mekanisme Pembangunan Kapasitas, yang akan bermanfaat bila para pemangku kepentingan – termasuk para pembuat kebijakan – mengalami kesulitan dalam memahami konsep dan isu-isu tersebut yang berada di balik REDD+ dan kerumitan yang berhubungan dengan akuntansi tata guna lahan. Kebutuhan kapasitas telah diidentifikasi secara meluas oleh Studi Komparatif Global CIFOR tentang REDD+.

PERTANIAN

Sebuah peta jalan yang melibatkan proses penyerahan dan pertemuan para pakar telah disepakati dalam SBSTA 40. Peta jalan pertanian telah dimulai dengan penyerahan yang diterima pada bulan  Maret, dan terkait dengan berbagai rencana sistem peringatan dini dan keberlangsungan dalam hubungannya dengan cuaca ekstrem; dan penilaian risiko dan kerentanan berbagai sistem pertanian terhadap berbagai skenario perubahan iklim yang berlainan pada tingkat regional, nasional dan lokal. Sebuah lokakarya yang menjadi bagian sesi akan diselenggarakan mengenai berbagai isu ini di Bonn.

Peta jalan tersebut akan berlanjut dengan penyerahan tambahan yang dinantikan pada bulan Maret 2016 terkait identifikasi dari pengukuran adaptasi, memasukkan keberagaman sistem pertanian dalam pertimbangan, sistem pengetahuan penduduk Asli dan manfaat tambahan, aspek-aspek sosioekonomi, lingkungan dan jender; dan identifikasi dan penilaian berbagai praktik dan teknologi pertanian untuk meningkatkan produktivitas dengan cara berkelanjutan, keamanan dan ketahanan pangan, mempertimbangkan berbagai perbedaan zona agroekologi dan sistem-sistem pertanian.

Proses penting ini terlepas dari berbagai negosiasi terkait tata guna lahan dalam suatu kesepakatan iklim baru.  Berbagai hasil peta jalan ini diharapkan menginformasi banyak negosiasi yang terus berlangsung setelah Paris, dilakukan untuk menentukan implementasinya dan kesepakatan tersebut mulai berlaku.

PASAR DAN OFFSET KARBON

Isu-isu yang berhubungan dengan pasar karbon terkait dengan sektor lahan dan hutan telah sangat dikenal, dan tetap menjadi garis pembatas yang tidak terselesaikan di antara para Pihak dan juga di antara masyarakat sipil.

Tantangan-tantangan politis ini mungkin akan berlanjut sampai dan sesudah kesepakatan apa pun yang dicapai di Paris. Di Jenewa, para Pihak terlibat dalam debat signifikan tentang topik ini, dengan banyak argumentasi yang dibuat yang menentang pencakupan ketentuan pasar terkait dengan sektor lahan dalam kesepakatan baru tersebut. Isu-isu yang diajukan mencakup kebutuhan untuk memastikan integritas lingkungan dan mengamankan keamanan pangan dan bahwa pasaran karbon mengalihkan aksi dari negara maju ke negara berkembang melalui offset.

Namun, ‘pergeseran’ dalam mitigasi ini, diperdebatkan sebagai dibenarkan dengan dasar bahwa beberapa Pihak berusaha mengurangi emisi di atas dam melampaui apa yang dapat mereka capai di negara asal mereka dengan membayarnya di negara lain. Beberapa pihak menganggap pasar karbon sebagai sistem yang berisiko untuk runtuh, sementara pihak-pihak lain menganggapnya sebagai komponen penting dari suatu kesepakatan baru.

Sebuah laporan USAID terbaru menyarankan bahwa kecuali kredit REDD+ dimasukkan dalam kesepakatan UNFCCC mendatang, REDD+ sebagaimana yang dimaksudkan mungkin akan tidak ada lagi. Satu opsi dalam teks Jenewa mengusulkan bahwa ‘unit-unit’ yang muncul dari berbagai mekanisme REDD+ dapat dialihkan dan dapat digunakan untuk memenuhi kontribusi para Pihak dalam kesepakatan baru tersebut. Juga diusulkan bahwa hasil-hasil mitigasi dan ‘unit-unit’ yang muncul dari berbagai mekanisme di luar UNFCCC dapat digunakan untuk memenuhi kontribusi para Pihak dalam kesepakatan baru tersebut dengan syarat bahwa hasil/unit tersebut memenuhi syarat-syarat keselarasan yang ditetapkan oleh COP.

Stephen Leonard adalah seorang pakar hukum internasional dan analis kebijakan iklim. Anda dapat menghubunginya di s.leonard@cgiar.org

Kebijakan Hak Cipta:
Kami persilahkan Anda untuk berbagi konten dari Berita Hutan, berlaku dalam kebijakan Creative Commons Attribution-NonCommercial-ShareAlike 4.0 International (CC BY-NC-SA 4.0). Peraturan ini mengijinkan Anda mendistribusikan ulang materi dari Kabar Hutan untuk tujuan non-komersial. Sebaliknya, Anda diharuskan memberi kredit kepada Kabar Hutan sesuai dan link ke konten Kabar Hutan yang asli, memberitahu jika dilakukan perubahan, termasuk menyebarluaskan kontribusi Anda dengan lisensi Creative Commons yang sama. Anda harus memberi tahu Kabar Hutan jika Anda mengirim ulang, mencetak ulang atau menggunakan kembali materi kami dengan menghubungi forestsnews@cifor-icraf.org
Topik :   Restorasi Tenurial Lahan Gambut

Lebih lanjut Restorasi or Tenurial or Lahan Gambut

Lihat semua