Bagikan
0

Bacaan terkait

BANDAR SERI BEGAWAN, Brunei (22 Juni, 2011)_ASEAN, sebagai salah satu asosiasi negara-negara Asia Tenggara menaruh perhatian tinggi terhadap kepentingan masyarakat yang tinggal di dalam dan sekitar hutan. Hal ini diungkapkan oleh Menteri industri dan sumber daya alam utama negara Brunei Darussalam, dalam pidato pembukaan pada konferensi Asean Social Forestry Network yang kedua, 21-22 Juni 2011 di hotel Centerpoint, Bandar Seri Begawan.

Menurut Menteri Yang Berhormat Pehin Orang Kaya Seri Utama Dato Seri Setia Awang Haji Yahya Begawan Mudim Dato Paduka Haji Bakar, “ Social forestry dan masyarakat merupakan komponen penting dalam manajemen hutan lestari. Hutan berperan penting sebagai penyedia bahan-bahan untuk keberlanjutan kehidupan, mempertahankan dan menyimpan emisi karbon maupun jasa lingkungan lainnya. Sehingga, sudah sepatutnya meningkatkan dan memperluas kegiatan masyarakat berbasis mitigasi melalui kebijakan, strategi dan intensif yang efektif.”

Keberpihakan terhadap masyarakat juga diutarakan oleh HE Heinz Walker-Nederkoorn, duta besar negara Swiss untuk ASEAN. Menurutnya, “ Keterlibatan masyarakat yang tinggal di dalam dan sekitar hutan adalah salah satu kunci efektitifas manajemen hutan lestari di lapangan.  Ancaman dan kesempatan (mendapatkan jasa lingkungan) melekat dalam pelaksanaan hutan lestari dan REDD+ (di masyarakat).” REDD+ merupakan skema pembayaran jasa kepada negara – negara yang bersedia mengurangi kegiatannya di dalam hutan. Sayangnya, perundingan tingkat nasional dan internasional saat ini belum optimal memetakan pembagian yang adil dan merata bagi masyarakat.

Isu Utama Sosial Forestry

Saat ini, hampir semua negara-negara yang bergabung dalam ASEAN sudah mempunyai kebijakan sosial forestry, yang antara lain melindungi hak-hak masyarakat atas hutan dan sumber daya hutan serta jasa dari hutan. Dalam hal ini, kegiatan mitigasi harus dilihat sebagai peluang  menambah pengembangan ekonomi untuk meningkatkan tingkat kehidupan mereka di dalam hutan.

Seperti dikatakan Yurdi Yasmi, manajer pembangunan kapasitas dan jasa teknis dari The Center for People and Forests (RECOFTC), sosial foresty bagi negara-negara ASEAN bukan hal baru. Masyarakat hutan di negara-negara ini sudah sejak lama mempraktekannya secara turun menurun, dari generasi ke generasi. Yang relatif baru hanyalah keterlibatan pemerintah.   Berdasarkan catatannya, di Asia Tenggara, kurang lebih 300 juta masyarakat hidup di sekitar hutan, dan sekitar 60 sampai 70 juta masyarakat hidup bergantung pada hutan sebagai sumber penghidupan utama.  Dengan demikian hutan adalah kehidupan, adalah bagian dari budaya mereka dan manajemen hutan secara tradisional berkembang sebagai bagian sosio-kultural (adat istiadat). “ Rancangan model sosial forestry yang sempurna adalah mengakui kepemilikan masyarakat dan atau didukung oleh partisipasi lokal dari masyarakat,” katanya.

Tantangan Sosial Forestry

Seperti halnya pelaksanaan kegiatan kehutanan yang lain, kepemilikan hak atas tanah (land tenure) merupakan masalah utama yang dihadapi oleh negara-negara di dalam ASEAN. Isu ini tergolong paling sensitif karena menentukan siapa yang berhak, siapa sebenarnya pemilik tanah, siapa yang berhak menentukan peruntukannya.  Ketidak jelasan kepemilikan dapat memicu konflik yang berkepanjangan, baik antar masyarakat sendiri atau antara masyarakat dan pemerintah.

Selain itu, tantangan-tantangan lain sosial forestry adalah kurangnya pengetahuan, kelemahan pendampingan dari lembaga-lembaga swadaya masyarakat, serta keraguan apakah sosial forestry dapat memberikan dampak berarti bagi pengurangan kemiskinan di daerah hutan, serta adanya alternatif lain yang mungkin lebih menguntungkan (trade-offs).

Namun, tantangan di atas bukanlah halangan untuk mencoba berbuat sesuatu yang lebih baik. Asean Social Forestry Network (ASFN), sebagai salah satu jembatan antar negara – negara di Asia Tenggara dalam bidang social forestry, tetap berupaya untuk meningkatkan inisiatif-inisiatif dan kegiatan manajemen hutan lestari, sekaligus meningkatkan kesejahteraan bagi semua masyarakat.

Melalui berbagi pengalaman antar negara, forum ini berharap akan dapat menyuarakan kepentingan masyarakat sebagai pelestari dan penjaga hutan untuk kepentingan sosio-ekonomi dan manfaat lingkungan. Terlebih karena peran penting mereka dalam REDD+, yaitu keterlibatan mereka sebagai ujung tombak pelaksana kegiatan mitigasi perubahan iklim.

Kebijakan Hak Cipta:
Kami persilahkan Anda untuk berbagi konten dari Berita Hutan, berlaku dalam kebijakan Creative Commons Attribution-NonCommercial-ShareAlike 4.0 International (CC BY-NC-SA 4.0). Peraturan ini mengijinkan Anda mendistribusikan ulang materi dari Kabar Hutan untuk tujuan non-komersial. Sebaliknya, Anda diharuskan memberi kredit kepada Kabar Hutan sesuai dan link ke konten Kabar Hutan yang asli, memberitahu jika dilakukan perubahan, termasuk menyebarluaskan kontribusi Anda dengan lisensi Creative Commons yang sama. Anda harus memberi tahu Kabar Hutan jika Anda mengirim ulang, mencetak ulang atau menggunakan kembali materi kami dengan menghubungi forestsnews@cifor-icraf.org
Topik :   Restorasi Tenurial

Lebih lanjut Restorasi or Tenurial

Lihat semua