Berita

Restorasi bentang alam: Pembelajaran dari China

Wawancara dengan Louis Putzel, Ilmuwan Senior CIFOR
Bagikan
0
Program Konversi Lahan Pertanian menjadi Hutan di China memungkinkan membayar petani untuk menanam pohon di lahan mereka, dan mengalokasikan lahan terdegradasi pada keluarga untuk direstorasi. Louis Putzel/CIFOR

Bacaan terkait

Wawancara ini adalah Bagian I dari tiga wawancara terkait restorasi bentang alam hutan bertepatan dengan Kongres Konservasi Dunia IUCN di Hawai’i, AS, 1-10 September lalu.

Pusat Penelitian Kehutanan Internasional (CIFOR) tampil dalam beberapa panel dan sesi sebagai bagian dari kemitraan KNOWFOR bersama Program Hutan Bank Dunia (PROFOR) dan International Union for Conservation of Nature (IUCN). Kemitraan ini didanai Departemen Pembangunan Internasional Inggris Raya (DFID).

Louis Putzel, Ilmuwan Senior CIFOR menjelaskan kepada Kabar Hutan tentang :

Bisa dijelaskan mengenai restorasi bentang alam hutan?

Menurut saya, restorasi bentang alam hutan adalah proses perencanaan skala besar yang mencakup peningkatan fungsi ekologi bentang alam dengan mengganti atau meningkatkan jumlah tutupan pohon. Konsepnya fleksibel dan meliputi rentang praktik mulai dari menyiapkan lahan untuk regenerasi alami hingga hutan industri.

Prinsip dasarnya adalah meningkatkan biomassa bentang alam – bisa berupa pohon, semak atau bahkan rerumputan, seperti bambu – dan menciptakan ragam manfaat lingkungan seperti serapan karbon, penjernihan air dan kontrol banjir.

Aspek restorasi bentang alam hutan (FLR) apa yang menjadi fokus penelitian tim Anda?

Proyek tim KNOWFOR  dimana saya bergabung terutama mengkaji program FLR pemerintah pada bentang alam bukit dan gunung yang dihuni oleh petani. Banyak pekerjaan FLR terkait dimensi manusia, karena banyak lahan teridentifikasi penting direstorasi dengan alasan lingkungan yang dihuni masyarakat. Sebagiannya sudah sangat padat dan dimanfaatkan untuk pertanian dan penggembalaan selama ratusan atau mungkin ribuan tahun. Restorasi di wilayah ini mengharuskan adanya timbal-balik dengan produksi pangan, setidaknya di tingkat lokal dan dalam jangka pendek. Di wilayah yang memiliki tantangan ekonomi besar seperti ini, hal tersebut menjadi pertimbangan utama.

Di bawah Bonn Challenge [upaya global merestorasi 150 juta hektare lahan terdegradasi pada tahun 2020 dan 350 juta hektare pada tahun 2030]Ethiopia telah berkomitmen merestorasi 15 juta hektare, Republik Demokratik Kongo 8 juta hektare, Rwanda 2 juta hektare.

Di negara-negara itu terdapat masalah besar untuk diselesaikan seperti siapa pemilik lahan, siapa pemegang hak atas lahan, bagaimana pemanfaatan lahan sebelumnya, bagaimana manfaat ekonomi dari pertanian, pangan apa yang diperlukan masyarakat? Semua itu harus dikompensasi jika lahan dikonversi menjadi hutan.

Pertanyaan-pertanyaan itu kini menggantung, dan perlu sejumlah besar penelitian. Mengingat dengan REDD+ saja banyak restorasi terjadi di tempat orang hidup dalam keterbatasan.

Hal ini terjadi karena beberapa alasan. Banyak wilayah terdegradasi memang sejak awal cenderung wilayah lebih miskin. Alasan lain adalah lebih murah mengkompensasi masyarakat lebih miskin. Jadi lahan yang diidentifikasi untuk restorasi cenderung lahan yang potensi biayanya rendah – sejalan dengan definisinya, yaitu di tempat masyarakatnya miskin.

Kita bisa belajar banyak dengan mengkaji pengalaman negara-negara yang memiliki rekam jejak panjang dalam restorasi skala bentang alam. Jadi selain mengkaji literatur, mengunjungi wilayah restorasi petani kecil dan menganalisa data, kami di CIFOR melakukan pertukaran pengetahuan dengan para mitra, mengumpulkan para pihak dari organisasi internasional seperti IUCN, INBAR, dan lainnya untuk berdiskui dengan komunitas kehutanan pemerintah di seluruh dunia, mulai dari China, Afrika dan AS.

Anda lama tinggal di China dan menganalisis praktik restorasi bentang alam hutan di sana. Pelajaran apa yang bisa diambil dari pengalaman China?

Selama beberapa tahun, kami bekerja dengan Pusat Penelitian Ekonomi dan Pembangunan Hutan, lembaga pemikir mitra Departeman Kehutanan China.

FLR adalah medan yang perlu banyak belajar dari China. China begitu besar dan beragam, dan telah mengalami dampak serius deforestasi di masa lalu. Mereka dipaksa menerapkan beragam strategi untuk menumbuhkan kembali pohon di bentang alamnya. Mulai dari konservasi dan proteksi atau ‘ekslusi’ tebing yang secara ekologis rentan, hingga konversi lahan pertanian menjadi hutan. Salah satu programnya, Program Konversi Lahan Pertanian menjadi Hutan, membayar petani untuk menanam pohon di lahan mereka, dan mengalokasikan lahan terdegradasi pada keluarga untuk direstorasi.

Di bawah satu program itu saja, mereka sudah mengkonversi hampir 30 juta hektare lahan pertanian dan lahan yang diklasifikasi terlantar atau terdegradasi.

Ada pelajaran penting mengenai subdsidi. Pemerintah mensubsidi restorasi skala besar ini sejak 1999, dan selalu muncul gagasan mengurangi subsidi,  dan menyapih masyarakat. Tetapi perlu dipertimbangkan bagaimana bentang alam melayani kebutuhan ekonomi masyarakat dalam jangka panjang, saat subsidi diakhiri. Bagaimana siklus ketergantungan ini mempengaruhi keberlanjutan?

China adalah contoh rumit karena restorasi terjadi bersama dengan migrasi massal dari desa ke kota, diiringi perubahan besar struktur ketenagakerjaan, selain juga reformasi tenurial menyeluruh. Semuanya berdampak pada pemanfaatan lahan, dan cenderung memindahkan tekanan dari wilayah desa ke  sekitar kota.

Dari kajian sistematis Program Konversi Lahan Pertanian menjadi Hutan (CCFP) [dengan penekanan] kami, jelas bahwa subsidi CCFP memberi tekanan pada masyarakat untuk mengurangi pertanian dan menanam pohon sebelum meninggalkan lahan dan bekerja di kota terdekat atau di provinsi lain.

Pelajaran lain dari China adalah bahwa FLR tidak selalu berjalan sesuai harapan. Dari perspektif ekologis, restorasi wilayah terdegradasi adalah ilmu pengetahuan yang membutuhkan pengetahuan khusus mengenai ekologi lokal, serta kesesuaian spesies dan praktik lapangan. Ada wilayah di mana spesies terpilih untuk ditanam membutuhkan lebih banyak air daripada ketersediaannya.Hal ini  mengurangi keberlangsungan hidup pohon, hingga perlu dilakukan penanaman ulang.

Secara impresif, CCFP telah meningkatkan wilayah hutan China sekitar 3 persen hanya dalam 15 tahun. Sebagian tutupan hutan tidak terlalu beragam, tetapi tentu saja, hutan berubah seiring waktu, dan lebih banyak spesies berpotensi bermigrasi ke wilayah lebih banyak pohon.

FLR bukan semata bagaimana bentang alam terlihat hari ini, tetapi bagaimana bentang alam terlihat di masa depan, lama setelah aktivitas restorasi terjadi.

Louis Putzel, Ilmuwan Senior CIFOR

Namun, hal-hal tersebut perlu dipertimbangkan dalam FLR di seluruh dunia. Ketika pemerintah hendak merestorasi hutan dalam mosaik lahan pertanian, misalnya, apakah hal ini mendorong atau menurunkan keragaman hayati, atau manfaat ekonomi, atau jasa ekosistem airnya? Mana lebih baik hutan terestorasi dibanding mosaik lahan pertanian yang telah memiliki beragam struktur dan fungsi?

Dalam dorongan restorasi wilayah hutan, kita seringkali menyaksikan ekspansi pohon monokultur cepat tumbuh – perkebunan eukaliptus, pinus, poplar atau karet. Jenis ini mungkin merestorasi manfaat ekonomi, dan jika lahan sebelumnya terdegradasi sangat parah, mungkin meningkatkan jasa lingkungan, dan tentu saja dapat menyimpan karbon, jika dikelola untuk itu.

Pada akhirnya, restorasi bergantung pada sumber daya finansial yang besar. Kita berbicara miliaran dolar, bukan jutaan, untuk merestorasi bentang alam pada skala Bonn Challenge. Negara besar seperti China, dan AS, bisa memberi kita kesadaran mengenai besarnya uang yang diperlukan mengkompensasi jutaan petani untuk meningkatkan jasa ekosistem bentang alam melalui restorasi.

Apa pesan Anda mengenai FLR untuk pertemuan Kongres Dunia IUCN?

FLR bukan semata bagaimana bentang alam terlihat hari ini, tetapi bagaimana bentang alam terlihat di masa depan, lama setelah aktivitas restorasi terjadi. FLR adalah soal memahami proses ekologi jangka panjang pada tingkat bentang alam. Hal ini jadi menantang bagi kelompok pemerintah dan organisasi konservasi yang besar dan beragam, kareena kondisi ekologi dan sosial sangat beragam di tiap tempat.

FLR memerlukan kemampuan besar dalam melakukan perencanaan, penataan wilayah, berkomunikasi dengan masyarakat yang tinggal di wilayah restorasi, menciptakan sistem agar mereka menerima program restorasi. Secara personal, saya berpikir pemerintah nasional masih harus memainkan peran kunci membangun keseimbangan antara pemanfaatan, tanggungjawab timbal-balik dan pengucuran dana sesuai tingkat yang diperlukan. Dan juga tetap hadir dalam jangka panjang – mengingat siklus proyek pembangunan internasional terlalu singkat. Selain itu investasi swasta harus kembali tidak terlalu lama.

Bonn Challenge adalah sesuatu yang dapat dilaksanakan, tetapi perlu upaya keras yang memerlukan banyak penelitian dan kebijakan cerdas. Dari sudut sosial diperlukan sejumlah perhatian – yang sejauh ini diabaikan atau mendapat sedikit perhatian.

Pada akhirnya, kita perlu bertanya siapa yang akan mewarisi atau mendapat manfaat dari bentang alam terestorasi. Bagaimana kita bisa menjamin masyarakat yang tinggal di wilayah target terpencil menjadi lebih baik dari sebelumnya? Jika lebih banyak pohon dan hutan memberi manfaat cukup untuk keberlangsungan FLR, kita semua menang.

Kebijakan Hak Cipta:
Kami persilahkan Anda untuk berbagi konten dari Berita Hutan, berlaku dalam kebijakan Creative Commons Attribution-NonCommercial-ShareAlike 4.0 International (CC BY-NC-SA 4.0). Peraturan ini mengijinkan Anda mendistribusikan ulang materi dari Kabar Hutan untuk tujuan non-komersial. Sebaliknya, Anda diharuskan memberi kredit kepada Kabar Hutan sesuai dan link ke konten Kabar Hutan yang asli, memberitahu jika dilakukan perubahan, termasuk menyebarluaskan kontribusi Anda dengan lisensi Creative Commons yang sama. Anda harus memberi tahu Kabar Hutan jika Anda mengirim ulang, mencetak ulang atau menggunakan kembali materi kami dengan menghubungi forestsnews@cifor-icraf.org