Berita

Kendala reformasi tenurial hutan berurat-akar di masa lalu

Sistem tenurial hutan di setiap negara memiliki sejarahnya sendiri. Memahami masa lalu dapat membantu pemangku kepentingan merancang sistem lebih berkeadilan di masa depan
Bagikan
0
Penduduk desa harus menaati dan menerapkan sejumlah aturan terkait tata kelola hutan, seperti menjaga hutan lindung. Aris Sanjaya/CIFOR

Bacaan terkait

Coba tanya masyarakat apa arti ‘kehutanan masyarakat’. Anda mungkin akan mendapat jawaban berbeda di negara berbeda, atau bahkan di wilayah berbeda di negara sama.

Di sebagian tempat, masyarakat memiliki lahan, tetapi pemerintah memberi hak memanfaatkan hutan. Di tempat lain, masyarakat memanfaatkan sumber daya hutan di lahan milik pemerintah. Di tempat lain lagi, terjadi tumpang tindih hak masyarakat dan kepemilikan swasta di lahan yang sama.

Sistem tenurial hutan tiap negara memiliki sejarahnya sendiri. Memahami masa lalu dapat membantu pemerintah dan masyarakat merancang sistem tenurial lebih berkeadilan di masa depan, kata Anne Larson, ilmuwan senior Pusat Penelitian Kehutanan Internasional (CIFOR).

“Kita perlu mengenali sejarah untuk memahami kendala reformasi tenurial saat ini,” kata Larson, salah seorang penulis sebuah bab dalam buku yang membandingkan reformasi tenurial hutan di Peru dan Indonesia. Buku ini akan dipublikasikan dengan  judul, Perbandingan Hukum Kepemilikan: Perspektif Global.

Bab ini ditulis berdasar hasil penelitian komparatif reformasi tenurial hutan global, dan menyoroti dua negara: Indonesia dan Peru.

“Penelitian kami menunjukkan progresi tantangan dan terobosan dalam menjamin hak masyarakat adat atau lahan komunal,” tambah Larson. “Ini membantu kita memahami situasi terkini dan mengidentifikasi tantangan yang ada.”

Evolusi tenurial masyarakat

Hampir tiga-perempat hutan dunia dianggap sebagai milik publik, meski masyarakat adat dan tradisional memiliki sejarah panjang pemanfaatannya. Konflik klaim atas hutan menimbulkan ketegangan, dan pemerintah merespon dengan beragam jenis reformasi, khususnya sejak awal 2000-an.

Antara 2002 dan 2008, terlihat upaya kuat mengembalikan hak pada masyarakat, meski dorongan ini melambat antara 2008 dan 2013. Demikian menurut data lembaga nirlaba  Inisiatif Hak dan Sumber Daya.

Kemajuan terbesar berlangsung di negara penghasilan rendah dan menengah. Sejumlah lahan milik pemerintah didesain untuk masyarakat dan masyarakat adat berlipat ganda antara 2002 dan 2013, meski hanya sekitar 3% hingga 6,1%.

Proporsi terbesar hutan yang dimiliki masyarakat dan masyarakat adat berada di Amerika Latin, sebesar 32,9%. Diikuti oleh Asia dengan 30,6%. Sementara Afrika tampaknya belum ada.

Dalam sejarahnya, hutan dipandang sebagai barang publik, dan pemerintah mengantungi hak mengelola. Tetapi penelitian menunjukkan bahwa keuntungan seringkali jadi milik elit, daripada dibagi secara adil.

Baik di Peru maupun Indonesia, penghidupan masyarakat bergantung pada hutan tropis. Dan meski dua negara itu mengambil langkah tenurial hutan berbeda, menurut para penulis buku, mereka menghadapi masalah serupa.

Kehutanan masyarakat di Peru

Di Peru, legislasi di awal 1970-an mengakui masyarakat adat dan kepemilikan komunal di Gunung Andes dan wilayah Amazon. Namun, hukum yang muncul kemudian membatalkan kepemilikan komunal hutan, dan hanya memberikan hak pemanfaatan hutan serta menciptakan sistem tenurial berbeda untuk lahan pertanian dan hutan.

Masyarakat tradisional memiliki hak peruntukan pada lebih dari 34 juta hektare, sementara empat miliar lain dirancang sebagai ‘cagar komunal’ untuk masyarakat adat. Sekitar 33 juta hektar masih tertunda peruntukkannya, dan proses ini sebagian besar terhenti sejak 2008.

Hukum kehutanan tahun 2000 dan 2011 mengharuskan penertiban di sektor ini, mengklasifikasikan hutan dan memerangi penebangan ilegal. Konflik perebutan peruntukan lahan berlanjut antara kepentingan swasta dan masyarakat, sementara pejabat pemerintah dan pimpinan swasta menuding masyarakat adat menghambat pembangunan nasional.

Namun, masyarakat Peru memiliki hak tenurial hutan lebih luas daripada penduduk hutan tradisional di Indonesia. Di Indonesia, pemerintah masih menguasai dan mengelola sebagian besar hutan, dengan kepadatan penduduk lebih tinggi dibanding Amazon Peru.

Kehutanan masyarakat di Indonesia

Di Indonesia, kontrol terpusat pemerintah atas hutan berlanjut bahkan  setelah kemerdekaan atas penjajah Belanda pada 1945.

Langkah maju mengakui hak adat pada Hukum Dasar Agraria 1960 dibatalkan beberapa tahun kemudian. Ketika itu rejim Suharto mengambil alih lahan komunal, menguatkan kontrol pemerintah pusat dan membagi hutan menjadi milik pemerintah dan milik swasta.

Regulasi yang dikeluarkan pada 1970 memunculkan beragam kategori hutan, membuka jalan konsesi penebangan, hutan tanaman industri dan wilayah konservasi yang mencerabut masyakarat lokal. Perlawanan terhadap kontrol terpusat berkembang sepanjang 1980 dan 1990-an, dan hukum kehutanan 1999 akhirnya mengakui beberapa model kehutanan masyarakat. Bahkan meski ada skema tersebut, pemerintah pusat tetap memiliki kontrol atas hutan, hanya memberi sebagian hak saja pada masyarakat.

Pada 2012, keputusan Mahkamah Konstitusi yang mendukung klaim tenurial masyarakat di bawah hukum adat memberi landasan bagi pengembangan hak komunal. Meski sejauh ini, implementasinya berjalan lambat.

Penelitian CIFOR dapat berkontribusi terhadap proses ini, kata Mani Ram Banjade, salah seorang penulis bab, sekaligus mengepalai penelitian CIFOR ini di Indonesia.

“Kami mempertimbangkan semua jenis reformasi dalam penelitian kami, mempelajari kasus skema kehutanan sosial dan sistem informal adat,” katanya.

Masyarakat dan pengambil kebijakan dapat memanfaatkan penelitian komparatif ini untuk belajar dari pengalaman di wilayah lain, tambahnya.

Tantangan bersama

Baik di Peru maupun Indonesia, kemajuan mencapai pemenuhan hak masyarakat tidak sama; sebagian didorong oleh simpati pejabat, sebagian oleh gerakan sosial dan, dicatat para peneliti, seringkali ditandai langkah mundur atau kelambanan.

Meski upaya Indonesia dalam tenurial komunal muncul setelah Peru, “masyarakat di dua negara ini memiliki tantangan serupa dalam hal hak maupun penjaminan hak serta penghidupan,” kata Larson.

Ketika mereka menuntut hak lebih besar, masyarakat tradisional di kedua negara akan terus menghadapi perlawanan dari pejabat pemerintah dan manajer perusahaan yang memandang mereka sebagai penghalang pembangunan, dan seringkali juga dari kelompok konservasi yang mengkambing hitamkan praktik pertanian tradisional sebagai penyebab deforestasi.

“Mengatasi hambatan menjamin hak masyarakat memerlukan koalisi untuk perubahan dan pemahaman jelas mengenai akar perlawanan,” tulis para peneliti.

Masyarakat membutuhkan peran lebih kuat dengan merancang rencana masa depan berdasar pemanfaatan berkelanjutan sumber daya alam di lahan mereka.

“Apa yang kita bincangkan adalah mengenai paradigma baru pembangunan, paradigma baru untuk masa depan, untuk mengatasi iklim dan penghidupan,” kata Larson. “Ada pertanyaan besar, dan jawabannya harus datang dari masyarakat sendiri, dengan memutuskan gaya hidup apa yang diinginkan.”

Informasi lebih lanjut tentang topik ini hubungi Esther Mwangi di e.mwangi@cgiar.org.
Kebijakan Hak Cipta:
Kami persilahkan Anda untuk berbagi konten dari Berita Hutan, berlaku dalam kebijakan Creative Commons Attribution-NonCommercial-ShareAlike 4.0 International (CC BY-NC-SA 4.0). Peraturan ini mengijinkan Anda mendistribusikan ulang materi dari Kabar Hutan untuk tujuan non-komersial. Sebaliknya, Anda diharuskan memberi kredit kepada Kabar Hutan sesuai dan link ke konten Kabar Hutan yang asli, memberitahu jika dilakukan perubahan, termasuk menyebarluaskan kontribusi Anda dengan lisensi Creative Commons yang sama. Anda harus memberi tahu Kabar Hutan jika Anda mengirim ulang, mencetak ulang atau menggunakan kembali materi kami dengan menghubungi forestsnews@cifor-icraf.org