Bagikan
0

Bacaan terkait

Saat pohon tumbang di Borneo, terdengarkah suaranya?

Sebuah peta interaktif yang dikembangkan Pusat Penelitian Kehutanan Internasional (CIFOR) memastikan suara itu terdengar.

Dengan menggabungkan peta Borneo (pulau ketiga terbesar di dunia) selama 40 tahun, wahana ini mengungkap hutan yang tersisa dan apa yang terbentuk akibat degradasi dan industri ekstraksi. Dilengkapi kemampuan mencari konsesi sawit atau kayu untuk bubur kertas, melihat lokasi lahan gambut, dan menentukan kecepatan konversi hutan menjadi perkebunan, untuk pertama kalinya, peta ini menawarkan peluang membedakan perusahaan yang menghindari derofestasi.

Ilmuwan CIFOR, David Gaveau, yang mengembangkan peta ini menyatakan, “Wahana ini terbuka bagi peneliti, kelompok advokasi, jurnalis dan semua orang yang tertarik pada deforestasi, habitat alam liar dan aksi korporasi.”

Data yang tersedia dalam peta ini dapat diunduh secara bebas, dan menyediakan informasi apakah konsesi sawit sudah tersertifikasi Roundtable on Sustainable Palm Oil (RSPO) – organisasi yang mengimplementasikan standar global keberlanjutan dalam industri sawit.

Atlas of Deforestation and Industrial Plantations in Borneo

Berbagai Ikrar

Selain menyediakan data deforestasi dan pemanfaatan lahan untuk konsesi individual, peta ini memungkinkan pengguna melakukan pencarian berdasarkan perusahaan, mengingat satu perusahaan sering memiliki beberapa konsesi.

Pengguna juga dapat memfilter informasi berdasar negara, provinsi dan area gambut tersisa, agar didapat gambaran besar mengenai pemanfaatan lahan korporasi oleh Malaysia, Indonesia dan Brunei.

Pengembang peta, Mohammad Agus Salim menyatakan, “Perusahaan besar dengan komitmen keberlanjutan, seperti ikrar nol deforestasi, mungkin tidak memiliki informasi lengkap dampak konsesi mereka. Data dasar deforestasi yang kami tampilkan dalam atlas ini memungkinkan mereka melacak ikrar tersebut.”

Di Indonesia, misalnya, negara tempat sawit menutupi 10,5 juta hektare lahan, perusahaan-perusahaan yang beroperasi telah berjanji menghentikan deforestasi dan pengeringan rawa gambut, agar tersertifikasi bahwa produk mereka tidak berkontribusi atas kerusakan hutan atau peningkatan emisi gas rumah kaca.

   Truk mengangkut buah kelapa sawit dari perkebunan di Kalimantan Barat. Icaro Cooke/CIFOR

Gaveau menyatakan, “Melalui transparansi yang terbentuk dari wahana ini, kami berharap dapat membantu perusahaan mencapai standar keberlanjutan seperti RSPO atau standar setara dari Indonesia dan Malaysia.”

Lebih dari atribusi transparansi terhadap deforestasi langsung, alat ini direncanakan mengungkap hambatan dalam putaran rantai suplai.

“Kami berencana menambahkan lokasi pabrik dan penyulingan di mana tandan sawit dibeli dari perkebunan untuk diproses,” kata Salim, hingga dapat dijejak hubungan antara pabrik dan konsesinya. “Tujuan kami adalah menjejak sawit dan bubur kertas dari produksi hingga konsumsi.”

Namun, berdasar peta Landsat, yang memberi visibilitas menakjubkan, wahana ini juga menampilkan cerita besar deforestasi dan prosesnya.

   Minyak goreng, margarin, sabun, kosmetika, industri baja, kawat, radio, kulit dan industri farmasi dihasilkan oleh buah sawit. Icaro Cooke/CIFOR
   Kehidupan penduduk di perkebunan sawit. Icaro Cooke/CIFOR

Jejak manusia

Menurut Matt Hansen, pakar pemantauan deforestasi via satelit dari Universitas Maryland, “Pada jarak 30 meter kami dapat melihat lebih terjadinya perubahan dan jejak manusia. Kami mendapatkan gambaran jelas eksploitasi lingkungan alam.”

Kemampuan melihat bagaimana manusia mengubah Borneo, menjadi penting di tengah tuntutan minyak murah atau hutan terjaga.

Ditempati sekitar delapan juta hektare industri perkebunan sawit – sekitar separuh dari estimasi 18 juta hektare area penanaman global – Kalimantan merupakan pusat produksi sawit terbesar kedua di dunia. Indonesia dan Malaysia merupakan produsen sawit terbesar pertama dan kedua di dunia, dan digabungkan, kedua negara ini menghasilkan 85 persen produksi global.

Namun, Salim menyatakan bahwa peta menunjukkan lebih dari sekadar dampak perkebunan. Diperbesar pada bagian berwarna biru di tengah warna hijau hutan, ia menunjuk dua bendungan pembangkit listrik tenaga air yang menyebabkan kehilangan hutan serius di Borneo Malaysia.

   Kehidupan Orangutan terancam oleh deforestasi dan perubahan penggunaan lahan. Terry Sunderland/CIFOR

Data Historis

Alat yang merupakan hasil kerja selama empat tahun tersebut, diluncurkan pada Forum Bentang Alam Global, bersamaan dengan COP22 di Marrakesh akhir tahun lalu.

Dengan menggabungkan peta sejak 1973, peta ini  memungkinkan pengguna melihat luas wilayah hutan sebelum industri ekstraksi membuka jalan ke dalam pulau tersebut.

Gaveau menyatakan, “Kuncinya ada pada data sepanjang 42 tahun. Tidak ada penelitian yang melihat Borneo dalam periode waktu sepanjang itu. Kami adalah yang pertama.”

Panjangnya rentang waktu memungkinkan dilakukan analisis mendalam, termasuk memantau pengeringan lahan gambut. Selain itu sudah ada rencana memasukkan sejarah kepemilikan konsesi, mengingat status lahan terus berubah sepanjang waktu. “Tidak seluruh deforestasi dalam konsesi terkait perusahaan. Informasi dari analisis jeda waktu memungkinkan dilihat atribusi tertentu, dan mempertanyakan apakah deforestasi disebabkan oleh perusahan atau bukan, serta waktunya,” kata Gaveau.

   Penebangan illegal untuk perluasan lahan perkebunan masih menjadi kendala. Achmad Ibrahim/CIFOR

Memandang Bentang Alam

Sementara liku-liku hak dan batas lahan terus didiskusikan dan diperdebatkan, alat yang dibangun dari data satelit yang mengorbit jauh di atas memungkinan pengguna melihat masalah yang terjadi di lapangan.

Hansen yang berpartisipasi pada peluncuran peta ini pada Forum Bentang Alam Global,  menyatakan, “Melalui satelit, kita tidak hanya melihat piksel tunggal – ini tak ada gunanya. Tidak juga hanya melihat pada jejak hutan. Kita perlu bantuan. Data ini baru akan berguna ketika kita melihat pada skala bentang alam.”

Dan pada skala bentang alam lah, peta menjadi bermanfaat bagi berbagai sektor, permukaan daratan dan waktu.

“Pada skala bentang alam, seluruh pihak berkepentingan, jadi kita memiliki kerangka multi-pemangku kepentingan. Di sini peta ini sangat berguna,” kata Hansen.

Sejalan dengan rencana perluasan peta ke Sumatera, Papua dan semenanjung Malaysia, pelacakan pemanfaatan lahan dan perubahan pemanfaatan lahan selama beberapa dekade akan terinkorporasi pada lebih banyak pemangku kepentingan. Suara pohon tumbang akan terdengar pada telinga-telinga yang mendengar.

   Bentang alam hutan lestari. Ricky Martin/CIFOR
Informasi lebih lanjut tentang topik ini hubungi David Gaveau di d.gaveau@cgiar.org atau Mohammad Agus Salim di m.salim@cgiar.org..
Kebijakan Hak Cipta:
Kami persilahkan Anda untuk berbagi konten dari Berita Hutan, berlaku dalam kebijakan Creative Commons Attribution-NonCommercial-ShareAlike 4.0 International (CC BY-NC-SA 4.0). Peraturan ini mengijinkan Anda mendistribusikan ulang materi dari Kabar Hutan untuk tujuan non-komersial. Sebaliknya, Anda diharuskan memberi kredit kepada Kabar Hutan sesuai dan link ke konten Kabar Hutan yang asli, memberitahu jika dilakukan perubahan, termasuk menyebarluaskan kontribusi Anda dengan lisensi Creative Commons yang sama. Anda harus memberi tahu Kabar Hutan jika Anda mengirim ulang, mencetak ulang atau menggunakan kembali materi kami dengan menghubungi forestsnews@cifor-icraf.org
Topik :   Restorasi Deforestasi

Lebih lanjut Restorasi or Deforestasi

Lihat semua