Analisis

Gorila di dalam kancah peperangan

Perang mendesak penduduk lari ke dalam kawasan yang dilindungi dan secara langsung mengancam kehidupan manusia dan gorila.
Bagikan
0

Bacaan terkait

Pada tahun 1997, terjadi konflik internal yang memakan korban mati lebih dari 1,000 orang dan memporakporandakan situasi di 37 negara, tiga kali lipat dari apa yang terjadi pada tahun 1989. Kebanyakan peristiwa terjadi di kawasan hutan yang masih lebat. Tentu saja hal ini menimbulkan dugaan yang membuktikan bahwa kompetisi di bidang pertambangan, kayu, lahan, dan sumber daya lainnya di kawasan pedalaman hutan merupakan salah satu penyebab utama dari kekerasan yang terorganisir.

Bagaimana kita dapat mengkonservasi keanekaragaman hayati dengan kenyataan yang ada saat ini dimana pemerintah sama sekali tidak berfungsi? Bagaimana kita dapat menjamin bahwa peristiwa kekerasan tersebut tidak akan menyebabkan kerusakan permanen terhadap habitat dan jenis-jenis yang sangat bernilai? Apa yang dapat dilakukan oleh organisasi kemanusiaan untuk mengelola krisis pengungsi tanpa menyebabkan kerusakan lingkungan yang terjadi di mana-mana, sehingga pada saat pengungsi kembali ke negaranya mereka masih memiliki sesuatu untuk dikerjakan? ’Building Partnerships in the Face of Political and Armed Crisis’ yang ditulis oleh Annette Lanjouw dari International Gorilla Conservation Program (IGCP) menyelidiki isu tersebut dalam konteks peperangan yang terjadi saat ini di Rwanda dan Kongo. Penulis membuat dokumentasi tentang bagaimana perang dapat menyebabkan hilangnya pendapatan penduduk lokal yang diperoleh dari turisme, mendesak penduduk lari ke dalam kawasan yang dilindungi, memaksa banyak petani melakukan perambahan agar dapat bertahan hidup, dan secara langsung mengancam kehidupan manusia dan gorila. Sebagaimana yang sering terjadi dalam konteks yang demikian, perkampungan pengungsi umumnya di bangun untuk menampung mereka yang menghindari peperangan dan berlokasi di kawasan hutan sehingga menambah tekanan pada hutan dan hidupan liarnya. Umumnya sejumlah besar manusia yang tinggal untuk sementara disana melakukan perburuan satwa, membuka lahan untuk pertanian, dan mengumpulkan kayu bakar.

LSM di bidang kemanusiaan, pengembangan dan konservasi berkumpul di kawasan tersebut, tetapi tidak selalu membuahkan hasil yang terbaik. Lanjouw menekankan bahwa meskipun upaya secara kemanusiaan untuk meringankan penderitaan akibat krisis yang terjadi/peperangan dalam jangka waktu pendek diperlukan namun mereka tetap harus mempunyai perspektif untuk jangka panjang. Jika hanya menitik beratkan pada unsur kemanusiaan, keamanan, pengembangan atau isu lingkungan saja secara tersendiri tanpa mempertimbangkan gabungan ke empat aspek tersebut maka akan membuahkan hasil bertentangan. Seringkali kelompok/golongan yang sedang berperang dapat mengundang upaya perlindungan sumberdaya yang penting bagi masa depan negara mereka seperti kasus gorila di Rwanda yang memberikan sumbangan devisa negara terbesar dalam bentuk turisme. Untuk LSM yang bekerja di daerah tersebut mereka harus mempertimbangkan penilaian di luar kebiasaan yang berlaku untuk menjamin bahwa semua pihak dapat menerima mereka dengan sikap netral.

Pengalaman yang diperoleh dari kasus di Rwanda, pada tahun 1998, the United Nations High Commision on Refugees (UNHCR) mengembangkan seperangkat pedoman lingkungan untuk menjalankan operasi penampungan pengungsi dengan dana dari IGCP. Komisi tersebut menyadari – begitu pula seharusnya kita semua – bahwa konflik kekerasan secara umum merupakan ancaman yang luar biasa. Mereka yang kuatir tentang masalah kehutanan dan masyarakat yang hidupnya tergantung dari hutan harus bersiap-siap jika terjadi peristiwa yang mendadak seperti kasus ini dan selayaknya memberikan respon dengan jalan yang tidak mengancam masa depan penduduk.

 

Kebijakan Hak Cipta:
Kami persilahkan Anda untuk berbagi konten dari Berita Hutan, berlaku dalam kebijakan Creative Commons Attribution-NonCommercial-ShareAlike 4.0 International (CC BY-NC-SA 4.0). Peraturan ini mengijinkan Anda mendistribusikan ulang materi dari Kabar Hutan untuk tujuan non-komersial. Sebaliknya, Anda diharuskan memberi kredit kepada Kabar Hutan sesuai dan link ke konten Kabar Hutan yang asli, memberitahu jika dilakukan perubahan, termasuk menyebarluaskan kontribusi Anda dengan lisensi Creative Commons yang sama. Anda harus memberi tahu Kabar Hutan jika Anda mengirim ulang, mencetak ulang atau menggunakan kembali materi kami dengan menghubungi forestsnews@cifor-icraf.org

Bacaan lebih lanjut

Anda dapat memperoleh paper Annete Lanjouw secara cuma-cuma melalui elektronik mail dengan menghubungi Benter Oluoch di: mailto:boluoch@awfke.org