Analisis

Sogok menyogok sudah beda

Pemerintah semakin terdesentralisasi, sayangnya begitu pula aksi korupsi.
Bagikan
0

Bacaan terkait

Sebetulnya perusahaan kehutanan tidak suka jika harus menyogok pejabat sekadar untuk bisa beroperasi secara legal tanpa gangguan. Selain mahal juga tidak adil. Namun jika sogokan bertujuan agar menghindari pajak, mangkir tugas administrasi, atau mengabaikan peraturan kehutanan ini merupakan hal yang lain lagi. Upaya itu dapat menekan biaya.

Pada masa pemerintahan Suharto perusahaan kehutanan harus membayar sogokan besar agar sekadar bisa berusaha. Walau sudah dengan jalan pintas, pada masa itu perusahaan tetap harus mengikuti sebagian besar peraturan yang berlaku. Para pejabat biasanya menutup sebelah mata jika peraturan pelestarian dan manajemen kehutanan yang berkesinambungan dilanggar. Namun mereka berubah jadi tajam jika masalahnya mengenai pajak dan menuntut agar para perusahaan tersebut membalak hutan yang memang sudah ditetapkan. Rezim pada masa itu cukup berkuasa untuk mempertahankan kepentingannya sendiri.

Setelah rezim runtuh, pemerintah semakin terdesentralisasi, sayangnya begitu pula aksi korupsi. Departemen Kehutanan makin merasa sulit untuk menetapkan larangan pada perusahaan-perusahaan kehutanan. Pemerintah daerah (pemda) mulai menerbitkan perijinan mereka sendiri dan banyak yang memulai pembalakan tanpa ijin. Dalam konteks ini para pembalak menghindari masalah. Mereka pun memberikan sogok pada pejabat pemda, pejabat kehutanan setempat, perwira militer, dan polisi. Sekarang ini para perusahaan mengeluarkan lebih kecil untuk menyogok. Kebalikannya pemerintah makin berkurang pendapatan dari pajak karena seluruh kehutanan sudah jadi terbuka.

Sebuah terbitan khusus mengenai masalah ini diluncurkan oleh The International Forestry Review. Karya dari J. Smith, K. Obidzinski, Subarudi, dan I. Suramenggala berjudul “Illegal Logging, Collusive Corruption, and Fragmented Governments in Kalimantan, Indonesia” mengungkapkan proses yang terjadi di Kalimantan Timur.

Para penulis ini memaparkan keadaan yang berlaku ketika suatu negara meninggalkan pemerintah otoriter dan menjadi negara demokratis muda. Korupsi secara menyeluruh bisa saja tidak terjadi, tetapi lebih banyak yang terkait aksi membiarkan dengan imbalan sogokan bagi perusahaan yang melanggar hukum, jika dibandingkan menyogok untuk dapat beroperasi secara ilegal.

Ini yang membuat berbagai kalangan merindukan kembali rezim otoriter yang dapat menekan ketertiban hukum. Akan tetapi tidak perlu mimpi, karena hal itu tidak bakal terjadi. Satu-satunya penyembuhan dari korupsi dalam suasana demokrasi muda adalah menambahkan dosis demokrasi. Tekanan sosial bagi reformasi politik dapat membuat institusi-institusi pemerintah menjadi lebih transparan dan memiliki akuntabilitas. Tentunya ini membutuhkan waktu yang lama dan kerja keras. Ini masih bisa diwujudkan.

Jadi janganlah murung, mulailah bertindak dan membentuk kegiatan

 

Kebijakan Hak Cipta:
Kami persilahkan Anda untuk berbagi konten dari Berita Hutan, berlaku dalam kebijakan Creative Commons Attribution-NonCommercial-ShareAlike 4.0 International (CC BY-NC-SA 4.0). Peraturan ini mengijinkan Anda mendistribusikan ulang materi dari Kabar Hutan untuk tujuan non-komersial. Sebaliknya, Anda diharuskan memberi kredit kepada Kabar Hutan sesuai dan link ke konten Kabar Hutan yang asli, memberitahu jika dilakukan perubahan, termasuk menyebarluaskan kontribusi Anda dengan lisensi Creative Commons yang sama. Anda harus memberi tahu Kabar Hutan jika Anda mengirim ulang, mencetak ulang atau menggunakan kembali materi kami dengan menghubungi forestsnews@cifor-icraf.org

Bacaan lebih lanjut

Guna mendapatkan salinan elektronik dari makalah tersebut dalam format pdf atau jika hendak mengirimkan komentar dan pertanyaan pada para penulis harap menghubungi Joyotee Smith pada: mailto:joysmith@loxinfo.co.th