Analisis

Penggabungan kementerian lingkungan hidup & kehutanan, suatu langkah berani & sulit

Di luar birokrasi dan politik, apakah artinya ini untuk lingkungan hidup Indonesia, dan untuk hutan-hutannya?
Bagikan
0
Presiden Indonesia Joko Widodo (difoto tahun silam) telah menggabungkan kementerian lingkungan hidup dan kehutanan negara tersebut, suatu langkah berani yang dapat menghasilkan imbalan dengan menyederhanakan yurisdiksi. Foto Kedutaan AS/Flickr

Bacaan terkait

Presiden Indonesia terpilih, Joko Widodo, baru-baru ini mengejutkan beberapa pengamat ketika beliau mengumumkan susunan kabinet, yang mengombinasikan kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan menjadi satu kementerian, dipimpin oleh Ibu Siti Nurbaya, seorang politisi dengan banyak pengalaman dengan pemerintah daerah dan pusat.

Keputusan tersebut menimbulkan riak di seluruh komunitas lingkungan hidup dan kebijakan Indonesia-dan dapat menjadi tanda bahwa suatu agenda luas dan lintas-sektoral di bidang lingkungan hidup akan melemah dan disederhanakan. Pada waktu bersamaan, hal tersebut mungkin memperkuat yurisdiksi di wilayah berhutan, yang akan dikonsolidasikan di bawah satu kementerian. Ketika Presiden berulang-ulang mengingatkan bangsa Indonesia bahwa selama ini kita telah melupakan urusan kelautan, orang hanya dapat berharap bahwa beliau juga ingat bahwa ada banyak konflik lahan dan kepemilikan lahan yang belum terselesaikan di kebun belakang kita.

Bagaimanapun, hal tersebut adalah sebuah langkah berani: Ramifikasi politis dari penggabungan kementerian dapat menyusahkan dan merepotkan. Melebur dua birokrasi berbeda-dengan kekuatan, kelemahan dan kapasitas mereka masing-masing yang berbeda–merupakan sebuah tantangan di negara mana pun, dalam konteks apa pun. Mungkin perlu beberapa waktu sebelum kementerian baru ini dapat beroperasi dengan kecepatan penuh. Tak perlu disinggung, pembenaran Presiden untuk memperoleh suatu keseimbangan antara para profesional dan politisi dalam Kabinetnya akan tetap berada dalam pengawasan publik.

Tetapi di luar birokrasi dan politik, apakah artinya hal ini untuk lingkungan hidup Indonesia, dan untuk hutan-hutannya? Laju deforestasi dan degradasi hutan yang tinggi di Indonesia menimbulkan berbagai masalah serius lingkungan hidup lokal, nasional dan global–yang meningkatkan pertaruhan tentang signifikasi penggabungan ini.

Banyak peluang timbul dari pembentukan kementerian baru ini.

Di satu pihak, hal tersebut dapat membantu mengonsolidasikan pengelolaan berbagai isu yang tadinya berada dalam yurisdiksi parsial dari kedua kementerian. Kebakaran lahan dan hutan di Sumatra dan Kalimantan, misalnya, seharusnya tidak lagi menjadi latihan tuding-menuding pada tingkat nasional–sebaliknya, satu kementerian tunggal dapat mengambil tindakan riil dan terpadu untuk menangani penyebab mendasar dari kebakaran tersebut, sehingga pencegahan kebakaran lebih efektif daripada usaha pemadamannya.

Kedua, kekuatan dan kelemahan dari dua kementerian lama tersebut dapat saling melengkapi, khususnya dalam pengertian finansial dan sumber daya manusia. Berbagai undang-undang lingkungan hidup yang kuat dapat menjadi lemah bila tidak ada cukup sumber daya untuk melaksanakannya; menggabungkan dua kementerian dapat membantu mengisi berbagai celah dalam keahlian atau sumber daya yang diperlukan untuk menyelenggarakan berbagai tugas besar di depan.

Ketiga, satu kementerian tunggal dapat lebih kuat secara politis daripada dua kementerian yang lebih kecil-dengan syarat bahwa sumber daya yang tersedia dioptimasikan dan/atau dimobilisasikan untuk mencapai berbagai sasaran baru dan sama. Selain pemilahan berbagai tugas dan tanggung jawab dalam kementerian baru tersebut, peningkatan terus-menerus dari kapasitas staf akan merupakan hal penting.

UNTUK BERBAGAI KEMENTERIAN, 1+1 ≠ 2

Namun, ada juga berbagai tantangan yang dihadirkan oleh langkah tersebut.

Di satu pihak, dengan tidak adanya satu kementerian tunggal yang terfokus pada kehutanan, apakah hutan-hutan Indonesia akan tersuramkan oleh berbagai prioritas lain?  Sebagai contoh, apakah penggunaan lahan hutan akan ditangani oleh Kementerian Agraria dan Tata Ruang, yang sama-sama baru dibentuk?

Kedua, apakah kementerian yang baru ini mampu untuk mengatasi konflik perebutan pengaruh, agar dapat berhasil bergabung menjadi satu? Banyak hal akan bergantung pada struktur akhir dari kementerian baru tersebut. Misalnya, keenam Direktoral Jenderal besar di Kementerian Kehutanan yang lama tidak akan mudah diselaraskan dengan enam unit besar lainnya di bawah enam deputi di Kementerian Lingkungan Hidup menjadi satu sistem besar yang fungsional. Ini merupakan tantangan besar yang mungkin akan menyingkirkan beberapa pejabat berperingkat tinggi dari pekerjaan mereka.

Merancang berbagai instrumen legal, ambil saja contoh Undang-undang No. 41/1999 tentang Kehutanan dan Undang-undang No. 32/2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, bukanlah tugas yang mudah. Akan diperlukan kepemimpinan yang kuat dari seorang konduktor yang sensibel untuk menyinkronkan berbagai nada yang dulunya ditampilkan pada berbagai panggung berbeda di hadapan audiens yang berlainan. Memenangkan keyakinan dari para pemangku kepentingan kementerian yang baru ini akan memerlukan pembuktian konsep yang tepat waktu; demikian juga, para pemangku kepentingan tidak boleh membiarkan “anak baru” ini tersandung keluar dari blok-bloknya dan tersesat tanpa tuntunan. Membantu mereka untuk tetap terfokus adalah merupakan tanggung jawab masyarakat Indonesia.

Penggabungan ini merupakan momen penting potensial untuk masa depan hutan-hutan Indonesia. Diharapkan bahwa kementerian baru ini bukan hanya akan mempertahankan lanskap berhutan Indonesia pada bagian teratas agenda, tetapi akan menyediakan sumber daya dan pengaruh untuk menyeimbangkan nilai tinggi dari barang-barang ekonomi yang berasal dari hutan, sambil mengamankan lahan-lahan tersebut dan layanan sangat berharga yang disediakannya.

Kementerian baru ini dapat memberi implikasi yang nyata bukan hanya bagi negara ini, tetapi juga untuk dunia.

Catatan Editor: Sebuah versi dari artikel ini aslinya muncul dalam The Jakarta Globe edisi 7 November

Kebijakan Hak Cipta:
Kami persilahkan Anda untuk berbagi konten dari Berita Hutan, berlaku dalam kebijakan Creative Commons Attribution-NonCommercial-ShareAlike 4.0 International (CC BY-NC-SA 4.0). Peraturan ini mengijinkan Anda mendistribusikan ulang materi dari Kabar Hutan untuk tujuan non-komersial. Sebaliknya, Anda diharuskan memberi kredit kepada Kabar Hutan sesuai dan link ke konten Kabar Hutan yang asli, memberitahu jika dilakukan perubahan, termasuk menyebarluaskan kontribusi Anda dengan lisensi Creative Commons yang sama. Anda harus memberi tahu Kabar Hutan jika Anda mengirim ulang, mencetak ulang atau menggunakan kembali materi kami dengan menghubungi forestsnews@cifor-icraf.org