Opini

Mengarusutamakan reduksi emisi dalam bentang alam

Pendanaan tetap problematik.Perlu segera diidentifikasi cara mendorong investasi untuk hal yang ‘berisiko tinggi dan hasil rendah’.
Bagikan
0
Pantai Karibia Nikaragua, Nikaragua. Bukti menunjukkan bahwa keberhasilan REDD+ membutuhkan reformasi lebih dari sekadar sektor kehutanan termasuk tenurial dan aspek lain tata kelola. Foto: Gema Lorio

Bacaan terkait

Sejalan dengan REDD+ yang berevolusi dan berkembang, sejumlah peluang, sinergi dan tantangan muncul, khususnya terkait tenurial dan pembiayaan. Riset Komparatif Global REDD+ CIFOR menawarkan pembelajaran dalam mencapai perubahan transformasional yang diperlukan untuk membuat kerangka kerja ini berhasil. Terdapat masalah yang melampaui sektor kehutanan dan penyelesaiannya memerlukan koordinasi beragam sektor serta integrasi kebijakan seluruh tingkat.

Sejak kelahirannya, REDD+, atau Reduksi Emisi dari Deforestasi dan Degradasi hutan, berevolusi dari sebuah alat mitigasi perubahan iklim berbasis simpanan karbon menjadi sesuatu yang kompleks, kerangka kerja multifaset yang beroperasi di seluruh level tata kelola.

Misinya juga berkembang mencakup potensi tujuan-tujuan sangat besar. Kerangka kerja REDD+ dalam UNFCCC memasukkan hak asasi manusia (dengan kekhususan penekanan pada hak masyarakat asli), konservasi keragaman hayati, memperkuat tata kelola di negara berkembang, dan, yang paling baru, penerimaan manfaat karbon dan non-karbon, pendekatan alternatif serta keterkaitan dengan adaptasi.

Serupa dengan hal itu, diskusi pembiayaan bergerak ke luar pasar dan ganti rugi karbon hingga memasukkan beragam sumber pendanaan.

Penelitian dari Riset Komparatif Global CIFOR mengenai REDD+ menunjukkan, evolusi REDD+ ini memunculkan rentang peluang dan pendekatan sinergistis beragam tujuan. Pada saat yang sama, tantangan implementasinya muncul: aliansi erat antara bisnis skala besar dan aktor pemerintah, tanpa mengatasi penyebab mendasar deforestasi; kebutuhan untuk kepastian lebih tinggi mengenai pendanaan; dan masalah signifikan dan kompleks tenurial.

Ketika REDD+ terus berubah dan bergerak ke bentang alam lebih luas, bukti menunjukkan bahwa keberhasilan membutuhkan reformasi lebih dari sektor kehutanan dan memasukkan aspek tenurial dan aspek lain tata kelola. Praktisi REDD+ perlu meraih peluang dan menghadapi tantangan yang muncul ketika mereka memadukan upaya beragam skala dan meningkatkan koordinasi lintas sektor dan bentang alam.

PERLUNYA KEJELASAN TENURIAL

Pada tingkat subnasional, REDD+ berlangsung dalam lingkungan di mana rejim tenurial menghadirkan tantangan implementasi. Agar REDD+ berhasil, perlu diidentifikasi tidak hanya siapa yang memegang hak legal di masyarakat dalam mengantisipasi aliran manfaat REDD+, tetapi juga mereka yang memikul tanggungjawab menjamin tuntasnya aktivitas REDD+.

Lebih dari itu, pemangku kepentingan REDD+ — anggota masyarakat dan proponennya – akan membutuhkan penguatan hak ekslusi untuk melindungi aktivitas REDD+ menghadapi klaim pihak luar, seperti klaim mereka yang ingin mengonversi pemanfaatan hutan menjadi bukan hutan.

Menjamin kejernihan tenurial dan keamanan pemangku kepentingan lokal menjadi sulit di beberapa negara berkembang, karena negara memiliki kepemilikan formal wilayah luas hutan dan seringkali tetap tidak jelas apa yang disebut ‘hutan’ di luar yang dimiliki tersebut.

Lebih jauh, posisi pemerintah dalam klaim biasa dan formalisasi akses atau hak kepemilikan belum sejalan dengan upaya memapankan landasan kehutanan masyarakat untuk REDD+. Bentang alam tersebut juga seringkali ditandai dengan ketidakseimbangan kekuatan antara agribisnis skala besar dan masyarakat di garis depan hutan. Dalam kondisi ini, banyak proponen REDD+ memandang tenurial sebagai tantangan prioritas mereka, lebih dari hambatan ekonomi REDD+ (saat ini).

Jika REDD+ ingin memenuhi janjinya, proponen harus mengembangkan pemahaman mendalam bagaimana bentang alam bekerja

Jika REDD+ ingin memenuhi janjinya, proponen harus mengembangkan pemahaman mendalam bagaimana bentang alam bekerja. Mereka harus memahami konteks lebih luas perencanaan penggunaan lahan sekitar lokasi, dan dinamika migrasi tak-terencana, kolonisasi spontan, alokasi dan persaingan klaim lahan, semua yang bisa menggagalkan berbagai upaya. Mereka harus sepenuhnya mengetahui dinamika pembangunan tidak hanya soal pertanian dan kehutanan, tetapi juga pertambangan dan infrastruktur. Mereka juga harus memahami elemen pemerintah berbagai tingkat yang juga dapat menghambat.

MEMBANGUN DARI KEBIJAKAN DAN INSTITUSI YANG ADA

Dalam konteks nasional, Riset Komparatif Global REDD+ yang digelar CIFOR menemukan bahwa proses REDD+ bergerak menuju perubahan transformasional lebih cepat di negara dimana sudah ada perubahan kebijakan untuk memuluskannya.

Contohnya, dorongan di belakang penurunan signifikan laju deforestasi Brasil terjadi sejak 2005, jauh sebelum REDD+, dengan kebijakan komando-dan-kontrol serta intervensi terfokus-rantai-komoditas termasuk boikot ternak dan kedelai.

Analisis keberhasilan kebijakan REDD+ yang dilakukan CIFOR mengidentifikasi perlunya kombinasi ini dalam sebuah negara. Pertama, negara yang telah memulai perubahan institusi membuat kemajuan lebih besar dalam merancang REDD+, selama tekanan terhadap hutan tinggi, atau legislasi hutan efektif, kebijakan dan tata kelola juga telah ada. Kedua, rasa kepemilikan nasional dan kehadiran koalisi untuk perubahan transformasional juga penting – tetapi hanya efektif dalam sebuah suasana kelembagaan memungkinkan.

Pada saat yang sama, beberapa negara lebih berhasil bekerja mengubah tata kelola lahan nasional dan kebijakan tenurial yang dapat mendukung implementasi REDD+. Misalnya, Pencatatan Lingkungan Desa (CAR) di Brasil mempersyaratkan setidaknya 80 persen lahan pribadi berada dalam tutupan hutan (sejalan dengan Kode Hutan Brasil), dan ini menjadi prasyarat pengalihan lahan melalui program nasional Terra Legal. Untuk alasan ini, proponen di Brasil bekerja erat dengan pemerintah sebagai mitra kunci meningkatkan kepatuhan lingkungan dan memperjelas pengaturan tenurial. Bukti menunjukkan, bagaimanapun, penggunaan pencatatan semata tidak mengurangi deforestasi di provinsi Para dan Mato Grosso, dan tantangan implementasi Terra Legal belum sepenuhnya teratasi.

Proponen di Indonesia menerapkan instrumen fungsional serupa untuk membantu menerapkan hak ekslusi. Para proponen menggunakan kategori tenurial relatif baru hutan desa untuk mengklaim hak tata kelola formal bagi masyarakat, dengan itu terbangun benteng melawan klaim konsesi sawit. Sejalan dengan itu, proponen REDD+ menggunakan Konsesi Restorasi Lingkungan (ERC) untuk mengkonsolidasi hak tenurial atas hutan yang ingin dilindungi, melawan rencana rebutan penggunaan lahan. Dalam kedua kasus, bagaimanapun, proponen melaporkan bahwa prosedur birokratis masih menjadi tantangan.

HIKMAH YURISDIKSIONAL

Lusinan inisiatif REDD+ tengah berada dalam skala ‘yurisdikional’, yaitu, dalam unit tata kelola formal seperti negara, provinsi, kota atau kabupaten. secara teori, keuntungan pendekatan ini adalah meningkatkan otoritas negara; koordinasi antar cabang pemerintah dan lintas sektor (mis. Pertanian, kehutanan, infrastruktur, pertambangan, kesejahteraan sosial) dan tingkat (lokal ke nasional); akses ke operasi pendanaan level lebih rendah; dan potensi makin besar kebocoran penanganan.

Organisasi sertifikasi telah mencatat keuntungan tesebut. Standar Verifikasi Karbon (VCS) telah mengembangkan sebuah kerangka Yurisdiksi dan Penempatan REDD+ untuk menghitung dan memberi kredit pada tingkat nasional dan subnasional, CCBA dan CARE telah membentuk Inisiatif Pengamanan Sosial dan Lingkungan REDD+ untuk program yurisdiksional REDD+ yang berlangsung baik dalam mencapai tujuan sosial dan keragaman hayati.

Di antara ketebatasan yurisdiksional REDD+ tersebut, walaupun melibatkan beragam sektor, hal ini tidak menyelesaikan kepentingan rebutan antara mereka. Lebih jauh, hal ini membutuhkan sumber pendanaan besar dan bertahan – yang biasanya melampaui sumber fiskal negara – dan penting pula, bahwa hal ini rentan terhadap politik elektoral, karena perubahan pemerintah dapat menghentikan kemajuan REDD+.

Deklarasi Rio Branco, Agustus 2014 mengikat negara dan provinsi anggota GCF untuk mencapai 80 persen reduksi deforestasi pada 2020

Satu contoh Sistem Insentif Jasa Lingkungan Negara (SISA) dalam Acre di Brasil, dipandang luas sebagai model yurisdiksi global REDD+ and sebagai yang terdepan dalam inovasi bawah-ke-atas untuk pembangunan desa rendah-emisi. Keunikan memiliki VCS terarah dalam kerangka yurisdiksi REDD+, SISA berpengaruh kuat pada negara Amazon lain. Sebuah tantangan bagi SISA adalah pencarian alternatif pendanaan terhadap kebergantungan berat donasi internasional, karena belum bisa bergantung pada memasarkan imbal-ganti karbon hutan.

Contoh lain adalah Tata Kelola Gugus Tugas Iklim dan Hutan, jaringan internasional beranggotakan 26 provinsi di 7 negara (www.gcftaskforce.org). GCF adalah perintis yurisdiksional REDD+ dan menjadi forum komunikasi dan koordinasi para anggotanya. Deklarasi Rio Branco Agustus 2014 mengikat negara dan provinsi anggota untuk mencapai 80 persen reduksi deforestasi pada 2020, dengan dukungan masyarakat internasional dalam bentuk pendanaan berbasis-kinerja. Deklarasi juga mengikat pengelola mengalokasikan saham substansial pada aliran manfaat ekonomi pada masyarakat yang bergantung hutan dan masyarakat asli.

KOMITMEN SEKTOR PERUSAHAAN SWASTA

Sektor perusahaan swasta bergerak mengurangi deforestasi dari rantai nilai komoditas. Perdagangan dan investasi global komoditas pertanian seperti sawit, sapi, kedelai, bubur kertas dan kertas, serta karet berkembang secara signifikan dalam dua dekade terakhir, menghasilkan tingginya tingkat deforestasi di banyak negara berkembang. Pada saat yang sama, negara konsumen semakin sadar dampak pangan impor, komoditas non-pangan dan barang manufaktur akibat deforestasi tropis.

Satu komoditas khususnya – minyak sawit – menjadi subyek kritik keras oleh LSM advokasi dalam dekade terakhir karena terkait deforestasi. Tekanan berlanjut dan liputan media sosial organisasi seperti Greenpeace, WWF dan Forest Peoples Programme berperan dalam membentuk berkembangnya tuntutan konsumen terhadap produksi komoditas secara berkelanjutan. Setelah janji awal sejumlah kecil perusahaan (Nestlé, Golden Agri-Resources, Wilmar, Hersheys dan Unilever) selama 2011–2013, 2014 menjadi saksi merebaknya komitmen korporasi untuk nol deforestasi dalam rantai suplai sawit, dan peningkatan serupa komoditas lain. Misalnya, Cargill meningkatkan komitmen awal menjadi kebijakan ‘Tidak Ada Deforestasi, Tidak Ada Gambut dan Tidak Ada Eksploitasi’ dalam produksi minyak sawit dan sumber semua komoditas mulai 24 September 2014. Gelombang keterlibatan korporasi ini adalah manifestasi sejumlah penadatangan (40) dari Deklarasi New York mengenai Pernyataan Aksi dan Rencana aksi Hutan.

Pemeriksaan global dan regional praktik korporasi dalam agribisnis berkontribusi pada pelaksanaan Meja Bundar Minyak Sawit Berkelanjutan pada 2004 (wahana multi-pemangku kepentingan lain yang dibentuk terkait antara lain kedelai dan biofuel), Norwegian Sovereign Wealth Fund memutuskan untuk divestasi dari 23 perusahaan sawit pada 2013, penundaan pendanaan sektor sawit pada 2012 oleh International Finance Corporation serta perubahan dalam praktik pembiayaan oleh bank dan investor.

MENDANAI BENTANG ALAM BERKELANJUTAN

Pendanaan – khususnya transfer dana dan teknologi dari negara maju ke negara berkembang – selalu menjadi isu paling kontroversial dalam perundingan UNFCCC. Konsensus tidak resmi adalah bahwa negara maju harus memobilisasi 100 miliar dolar AS untuk pendanaan iklim tiap tahun pada 2020. Penerima dana ini adalah Dana Iklim Hijau, yang berupaya mengamankan antara 10 miliar dolar AS hingga 15 miliar pada akhir 2014.

Sebagai perbandingan, subsidi domestik dan internasional untuk bahan bakar fosil totalnya lebih dari 500 miliar dolar AS secara global pada 2011, dan tetap menjadi kendala kunci berinvestasi dalam ekonomi rendah-karbon dan tahan-iklim.

Hingga hari ini, upaya mitigasi perubahan iklim (termasuk REDD+) menerima sejumlah pendanaan – diperkirakan 350 miliar dolar AS (baik pendanaan sektor pemerintah maupun swasta) dibanding dengan hanya 14 miliar dolar untuk adaptasi. Hasil ketidakseimbangan ini, adaptasi menjadi lebih utama dalam perundingan UNFCCC dalam kesepakatan iklim baru.

Lebih jauh lagi, analisis global terbaru 115 proyek percontohan REDD+ mengungkap bahwa konsentrasi dana besar di negara tumbuh dan kaya sumber daya. Contohnya, 19 dari 30 proyek di Asia – mencakup total area hampir 10,5 juta hektare – ada di Indonesia, satu dari delapan negara target di wilayah ini.

Mencapai target 100 miliar dolar AS per tahun membutuhkan transformasi dalam skala dan kecepatan pendanaan sektor publik dan swasta baik untuk mitigasi dan adaptasi, serta transisi lebih luas dan lebih kompleks menuju ekonomi rendah-karbon. Jalan baru mengemas dan mengantarkan dana diperlukan jika dana harus menjangkau orang miskin desa dan kota. OESC, isalnya, menspesifikasi kebutuhan “menggunakan dana publik terbatas untuk area target ketika dana swasta tidak ada atau tidak cukup, misalnya adaptasi dan REDD+.”

Pendanaan REDD+ dihantar melalui pembentukan kelas asset baru yang masih perlu dimaterialisasikan. Janji dana berbasis-kinerja memainkan peran positif dalam REDD+ ketika diterapkan di negara yang memimpin proses sendiri dan memiliki kepemilikan nasional kuat. Ketika perasaan memiliki rendah – donor memimpin proses – janji dana asing berbasis kinerja tampak tidak relevan.

Sektor swasta diharapkan mengisi celah pendanaan perubahan iklim. Manfaat lain melibatkan sektor swasta terletak pada potensi mengaitkan kapasitas teknis dalam mencapai mitigasi dan adaptasi perubahan iklim dan memobilisasi investasi lebih luas dalam bentang alam berkelanjutan.

Bagaimanapun, sistem finansial global tidak dirandang untuk melayani ekonomi desa negara berkembang. Produsen desa menghadapi risiko pertanian dalam bentuk bencana alam (kejadian cuaca ekstrem dan penyakit) dan dalam produksi, teknologi, pembiayaan, hukum dan kebijakan, serta ketidakpastian harga (awal maupun hasil). Risiko ini secara potensial menurunkan pemasukan produsen melalui dampak negatif panen, harga, aset dan penghidupan, serta meningkatkan probabilitas gagal. Senyawa masalah ketidakamanan hak tanah dan rendahnya kolateral membuat pinjaman pertanian, agroforestri dan kehutanan di negara berkembang berisiko tinggi.

KESIMPULAN

REDD+ berpotensi memainkan peran signifikan dalam mencapai pembangunan berkelanjutan serta mitigasi dan adaptasi perubahan iklim. Namun, keberhasilannya bergantung pertama dalam mencapai perubahan transformasional, yaitu pergeseran besar wacana, relasi kekuasan dan insentif ekonomi untuk menghargai tegakan hutan. Menyelesaikan masalah ini memerlukan koordinasi dan integrasi kebijakan lintas ragam dan tingkat sektor.

Persepsi proponen REDD+ mengenai tenurial sebagai tantangan prioritas seharusnya dipandang serius, seperti juga kebutuhan proponen REDD+ memahami bentang alam tempat mereka bekerja, karena aktivitas REDD+ mengambil tempat dalam sebuah konteks tujuan pembangunan lebih luas.

Menyelesaikan masalah-masalah ini memerlukan koordinasi dan integrasi kebijakan lintas beragam dan tingkat dari banyak sektor

Ketika negara-negara melangkah ke implementasi, munculnya inisiatif yurisdiksional REDD+ suntikan dorongan, terkait keuntungan koordinasi antara cabang pemerintah, lintas sektor dan lintas tingkat. Negara-negara mendapat keuntungan besar dai temuan bahwa proses REDD+ akan bergerak menuju perubahan transformasilan cepat keitak jalur kebijakan dan kerangka kerja legal sudah ada. Banyaknya inisiatif internasional dan berlanjutnya pengembangan upaya REDD+ tampaknya terbayar dalam komitmen dan aksi pada beragam level.

Namun, pendanaan tetap problematik. Pemerintah, donor serta organisasi non-pemerintah dan riset masih harus terus belajar bekerja dengan aktor korporasi (termasuk investor lembaga), dan segera mengidentifikasi cara mendorong investasi swasta pada apa yang sering dianggap sebagai pasar tumbuh ‘risiko tinggi dan hasil rendah’.

Komitmen terbaru sektor swasta mewakili langkap penting pertama pada jalan panjang dan berliku menuju keberlanjutan. Konteks tata kelola di setiap negara tempat komoditas tersebut diproduksi dan/atau tempat sumber asal akan terpengaruh secara signifikan hingga perusahan dapat menerjemahkan janjinya menjadi aksi terukur. Lebih jauh lagi, tetap masih belum jelas berapa banyak – dan berapa cepat – aktor korporasi akan mendesak perubahan dalam sistem produksi dan rantai suplai mereka, serta terutama berada dalam posisi menyediakan bukti kemajuan yang kredibel dan independen. Mencapai tahap itu termasuk mediasi konflik lahan yang belum tuntas antara perusahaan dan masyarakat.

Catanan Editor: Artikel ini aslinya muncul di situs web Climate Action

Kebijakan Hak Cipta:
Kami persilahkan Anda untuk berbagi konten dari Berita Hutan, berlaku dalam kebijakan Creative Commons Attribution-NonCommercial-ShareAlike 4.0 International (CC BY-NC-SA 4.0). Peraturan ini mengijinkan Anda mendistribusikan ulang materi dari Kabar Hutan untuk tujuan non-komersial. Sebaliknya, Anda diharuskan memberi kredit kepada Kabar Hutan sesuai dan link ke konten Kabar Hutan yang asli, memberitahu jika dilakukan perubahan, termasuk menyebarluaskan kontribusi Anda dengan lisensi Creative Commons yang sama. Anda harus memberi tahu Kabar Hutan jika Anda mengirim ulang, mencetak ulang atau menggunakan kembali materi kami dengan menghubungi forestsnews@cifor-icraf.org