Liputan Khusus

Satu peta bagi masa depan yang lebih baik: Konferensi Bentang Alam

Masyarakat merasa hukum dibuat di tingkat nasional dan tidak ada urusannya dengan realitas mereka. Masih ada solusi.
Bagikan
0
Peta menunjukkan stok karbon butan, Indonesia. Konferensi Bentang Alam mendengar bahwa memiliki ‘satu peta’ yang mencakup semua masalah kehutanan sangat penting. Photo courtesy of globalforestwatch.org

Bacaan terkait

JAKARTA, Indonesia — Kurang dari setahun setelah 250 perusahaan menandatangani komitmen nol deforestasi, mengiring kita untuk berpikir bahwa kemajuan dalam upaya meredam deforestasi telah dilakukan.

Namun, dari suatu sesi di Konferensi Bentang Alam Tropis 2015 yang terdengar adalah bahwa kita baru bisa melihat dampak kebijakan, dan perlu lebih banyak lebih untuk menjaga kelangsungan proses secara transparan dan akuntabel.

Suatu panel terdiri dari kalangan pemerintah, sektor industri dan LSM menggelar sesi bertajuk “Menjaga Keberlanjutan Bentang Alam Tropis: Pandangan Jangka Panjang”. Daniel Nepstad, Direktur Eksekutif Earth Innovation Institute, menyatakan bahwa ia telah tinggal di Brasil selama 30 tahun ketika negara itu dikoyak perebutan lahan. Baru pada 2014, katanya, negara tersebut mencapai titik balik.

“Terdapat upaya besar lintas-kementerian untuk menegakkan hukum-hukum yang ada,” katanya pada audiens. “Sejak itu, deforestasi Brasil turun 76 persen – penurunan deforestasi terbesar di dunia. Dan hal itu terjadi akibat ditegakkannya hukum.”

Hukum dibuat tanpa perhatian cukup bagaimana diterapkan, atau bagaimana justru menghambat inovasi. Kita sering berpikir bahwa aturan disusun untuk dilawan

Tetapi hukum sendiri tidak cukup, tegas Nepstad. Sebagian kegagalan menegakkan hukum Brasil selain karena hukum itu sendiri terlalu berat, lanjutnya, dan menjadi bagian dari sebuah “lumpuh, dan kakunya birokrasi”.

“Hukum dibuat tanpa perhatian cukup bagaimana akan diterapkan, atau bagaimana bisa menghambat inovasi,” katanya. “dan itu berarti bahwa orang sering berpikir bahwa aturan disusun untuk melawan mereka. Mereka merasa hukum dibuat di tingkat nasional dan tidak ada urusannya dengan realitas mereka.”

Nepstad menyatakan, masyarakat desa sering mampu menjadi hakim terbaik apa yang bekerja. Dan apa yang paling mereka inginkan adalah transparansi dan akuntabilitas dari orang yang membuat kebijakan dan hukum.

Tetapi Indonesia berbeda dari Brasil, ujar Heru Prasetyo, pendiri Indonesia Business Link. Tidak hanya karena Brasil memiliki hukum federal yang diterapkan di seluruh negara (Indonesia memiliki hukum berbasis provinsi), tetapi, tambahnya, “Brasil transparan dan Indonesia tidak transparan, walau sebenarnya ini bukanlah alasan.”

Buruknya manajemen data seringkali menghambat transparansi, katanya. Peta tumpang tindih, data tak lengkap dan sistem kuno sering berarti bahwa informasi vital hilang atau tertinggal. Pengambilan kebijakan dan penegakkan hukum menjadi tantangan ketika lembaga berbeda bekerja dengan peta berbeda, dengan data beragam.

Menteri Agraria dan Tata Ruang Indonesia, Ferry Mursyidan Baldan, menyatakan bahwa Indonesia tengah berupaya menerapkan kebijakan Satu Peta yang akan membuat langkah signifikan menuju penyelesaian konflik kepemilikan lahan, degradasi lahan, konversi penggunaan lahan, dan bahkan kemiskinan dan pengangguran. Ini juga akan membantu kerja petugas penegakkan hukum dalam melakukan pemantauan.

Brasil transparan dan Indonesia tidak transparan, walaupun ini bukan alasan

“Solusi Satu Peta bisa berharga, tidak sekadar menghukum pelanggar aturan, tetapi juga untuk tata ruang dan legislasi,” katanya.

Komitmen pemerintah Indonesia mereformasi sektor kehutanan telah dipuji masyarakat internasional, dan seharusnya begitu, kata Nigel Sizer dari World Resources Institute.

Bagaimanapun, ia mengingatkan, bahwa Indonesia tidak mencapai target pertumbuhan – sebagian karena ketidakstabilan ekonomi. Tetapi, katanya, rencana baru menerapkan pajak ekspor 50 dolar per ton minyak sawit, sebagai insentif desa karena meningkatkan tutupan desa, serta implementasi sistem Satu peta adalah jalan terpuji yang telah dimulai di Indonesia.

Terdapat kemajuan yang “benar-benar menakjubkan” dalam membangun ketersedian informasi, kata Peter Holmgren, Direktur Jenderal Pusat Penelitian Kehutanan Internasional (CIFOR), tetapi kita perlu berhati-hati tidak “membangun satu monolit besar penampakan dunia seperti yang kita inginkan”.

Keragaman, demografi dan dinamika harus menjadi kata penentu kebijakan masa depan, lanjut Holmgren, agar terhindar dari mewarnai “kehidupan desa dengan cara tertentu. Kita tidak bisa memiliki foto kartu pos apa yang seharusnya. Ini berubah sepanjang waktu”.

Rancangan kebijakan yang benar, transparansi, penatalayanan dan perencanaan jangka panjang sangat penting bagi perlindungan hutan, dan terdapat sumber daya cukup mengatasi masalah yang dihadapi, kata panel sepakat.

“Bentang alam tropis kita sangat berharga,” kata Ferry Mursyidan Baldan. “Dengan perencanaan lebih baik, hidup jadi lebih baik”.

Kebijakan Hak Cipta:
Kami persilahkan Anda untuk berbagi konten dari Berita Hutan, berlaku dalam kebijakan Creative Commons Attribution-NonCommercial-ShareAlike 4.0 International (CC BY-NC-SA 4.0). Peraturan ini mengijinkan Anda mendistribusikan ulang materi dari Kabar Hutan untuk tujuan non-komersial. Sebaliknya, Anda diharuskan memberi kredit kepada Kabar Hutan sesuai dan link ke konten Kabar Hutan yang asli, memberitahu jika dilakukan perubahan, termasuk menyebarluaskan kontribusi Anda dengan lisensi Creative Commons yang sama. Anda harus memberi tahu Kabar Hutan jika Anda mengirim ulang, mencetak ulang atau menggunakan kembali materi kami dengan menghubungi forestsnews@cifor-icraf.org
Topik :   Deforestasi Bentang alam

Lebih lanjut Deforestasi or Bentang alam

Lihat semua