Berita

Label harga lingkungan hidup? Sekitar 125 triliun dolar AS per tahun

Audit lingkungan menempatkan harga bersih jasa lingkungan sebesar 125 triliun dolar AS per tahun. Terlalu dibesar-besarkan?
Bagikan
0
Suatu penelitian menentang logika PJL (pembayaran jasa lingkungan) dengan menyatakan bahwa pembayaran uang hanya satu dari beberapa faktor yang mempengaruhi dampak dari konservasi. Foto: wikicommons

Bacaan terkait

BOGOR, Indonesia — Walaupun bukan sepenuhnya gagasan romantis, memberi label harga pada alam adalah sesuatu yang dicari ilmuwan konservasionis selama beberapa dekade.

Audit lingkungan terakhir menempatkan harga bersih jasa lingkungan – baik itu sekuestrasi karbon, regulasi siklus air, atau perlindungan keragaman hayati, dan lainnya – sebesar 125 triliun dolar AS per tahun.

Dan sejalan dengan logika upaya penilaian tersebut, pembayaran jasa lingkungan (PJL) adalah satu model perlindungan “aset” melalui insentif finansial.

Tetapi, menentang logika PJL menjadi penelitian terbaru dari Pusat Penelitian Kehutanan Internasional (CIFOR) dan Institut Pembangunan Berkelanjutan dan Hubungan Internasional (IDDRI), yang menyatakan bahwa uang hanya satu dari beragam faktor yang mempengaruhi hasil konservasi.

“Terlalu banyak penekanan pada transaksi ekonomi dalam memahami perilaku manusia. Kekuatan pasar terlalu dibesar-besarkan,” kata Romain Pirard, ilmuwan CIFOR dan salah satu penulis laporan penelitian.

Terlalu banyak penekanan pada transaksi ekonomi dalam memahami perilaku manusia. Kekuatan pasar terlalu dibesar-besarkan

Para peneliti studi kasus ini fokus pada daerah aliran sungai Cidanau di Banten, Jawa Barat, dengan kondisi terjadi penurunan tutupan hutan berakibat pada erosi lahan dan turunnya kualitas air sungai.

Merespon masalah tersebut, perusahaan air lokal yang mengambil air dari sungai bersiap untuk mendanai skema PJL – dimediasi dan dipantau oleh beragam pemangku kepentingan, termasuk LSM lokal dan tokoh masyarakat – untuk membayar petani lokal agar tidak terus mengurangi tutupan hutan.

Tetapi bukannya menemukan “jejak kausal” langsung antara tawaran uang dan peningkatan tata kelola lahan, Pirard dan rekan-rekannya menemukan bahwa gambarannya lebih kusut – banyak petani tidak cukup memahami kontrak yang mengikat mereka, dan terutama untuk apa mereka dibayar.

Terdapat beberapa alasan kejadian ini, menurut Pirard.

“Orkestrasi dan pembayaran semuanya dilakukan melalui perantara pemimpin desa, banyak yang tidak cukup transparan mengenai sifat perjanjian dan membayar secara sporadis,” katanya.

“Banyak petani di Indonesia tidak cukup mendapat pengetahuan, selain juga karena  banyaknya mandat diberikan kepada para pimpinan kelompok. Sekali diputuskan bahwa desa akan mematuhi skema maka pada gilirannya ada tekanan sosial pada setiap orang untuk patuh.

“Banyak petani mengikuti skema ini, walaupun tidak jelas hubungan antara tindakan dan pembayaran uang – jadi mereka bertindak berdasar pada motivasi dan tekanan pihak lain bukan sekadar perolehan finansial.”

Alasan uang dikutip 39 persen dari 270 responden survei sebagai alasan mendasar keterlibatan, motivasi sosial mereka (sebagian besar dalam bentuk tekanan sosial) cukup tinggi, sementara 35 persen menyatakan hal tersebut sebagai alasan utama.

Penelitian ini menentang pandangan bahwa instrumen berbasis insentif dapat mencapai tujuan lingkungan secara mandiri, dan menunjukkan bahwa ada realitas lebih kompleks di lapangan.

Lebih jauh, sebanyak 85 persen rumah tangga tidak bisa banyak bicara mengenai jumlah dan waktu pembayaran, meskipun dalam kontrak hal ini sangat jelas.

“Penelitian ini menentang pandangan bahwa instrumen berbasis-insentif dapat memenuhi tujuan lingkungan secara mandiri, dan menunjukkan bahwa ada realitas lebih kompleks di lapangan,” kata Pirard.

PARTISIPASI DAN MOTIVASI

Temuan mengenai pentingnya faktor sosial sejalan dengan penelitian terbaru sebelumnya mengenai partisipasi dan motivasi dalam beragam skema PJL di seluruh dunia.

Di Amerika Tengah, penelitian menemukan bahwa nilai dan persepsi masyarakat penting bagi proyek lingkungan.

Temuan serupa diungkap proyek di Andes Kolumbia, dan di Namibia, di mana salah satu partisipan program manajemen sumber daya berbasis masyarakat menyatakan: “Bagaimana bisa saya tinggal di sini dan tidak menjadi anggota?”

Romain Pirard menyatakan bahwa pandangan skeptis PJL dan instrumen berbasis pasar lain menunjukkan berkembangnya konsumersime dan ekonomi pasar sebagai pendorong utama kerusakan lingkungan, dan mereka memandang komodifikasi lebih jauh jasa lingkungan sebagai respon salah arah.

“Seringkali orang, karena ideologinya, menentang instrumen ini karena mereka mencampurkan konservasi dan alam dengan perdagangan dan ekonomi,” katanya.

“Khususnya dalam pergerakan PJL ada debat apakah insentif finansial memiliki dampak negatif dengan mendorong lain keluar dari konservasi.

“Sebagian menyatakan bahwa motivasi ekstrinsik perolehan finansial dapat menghapus motivasi intrinsik, dan mengarah pada apresiasi lebih rendah terhadap manfaat hutan.”

MELIHAT MAKRO

Berdasar temuannya, Pirard skeptis terhadap kemanjuran PJL dan hasil konservasi yang bisa didapat, khusunya pada tingkat makro.

Walaupun ia tidak percaya PJL berbahaya, dan menyatakan bahwa PJL dapat menyebabkan efek positif tak disengaja.

“Mungkin ironis tampaknya bahwa skema yang dikelola untuk memperkuat dialog yang diperlukan untuk mengedukasi orang mengenai manfaat hutan, yang telah dilakukan, terlepas dari insentif finansial apapun,” kata Pirard.

Menurut penelitian, 81 persen peserta menyatakan mereka akan menjaga hutan walaupun jika program ini berakhir, dengan 88 persen menyatakan mereka akan memanfaatkan hutan dari buah dan kayunya, dan 51 persen mengakui bahwa pohon adalah investasi jangka panjang yang baik.

“Jadi, terlepas dari teori ekonomi ‘keras’, skema ini bekerja sebagai kendaraan edukasi – walaupun ini tak sengaja bagi konsep PJL,” kata Pirard.

Untuk informasi lebih jauh mengenai karya CIFOR mengenai PJL silahkah hubungi Romain Pirard di r.pirard@cgiar.org

Penelitian ini didanai ERA-Net BiodivERsA, dengan pendana Prancis Agence Nationale de la Recherche.

Kebijakan Hak Cipta:
Kami persilahkan Anda untuk berbagi konten dari Berita Hutan, berlaku dalam kebijakan Creative Commons Attribution-NonCommercial-ShareAlike 4.0 International (CC BY-NC-SA 4.0). Peraturan ini mengijinkan Anda mendistribusikan ulang materi dari Kabar Hutan untuk tujuan non-komersial. Sebaliknya, Anda diharuskan memberi kredit kepada Kabar Hutan sesuai dan link ke konten Kabar Hutan yang asli, memberitahu jika dilakukan perubahan, termasuk menyebarluaskan kontribusi Anda dengan lisensi Creative Commons yang sama. Anda harus memberi tahu Kabar Hutan jika Anda mengirim ulang, mencetak ulang atau menggunakan kembali materi kami dengan menghubungi forestsnews@cifor-icraf.org
Topik :   Deforestasi Tenurial

Lebih lanjut Deforestasi or Tenurial

Lihat semua