Analisis

Mengapa ‘nol deforestasi’ hanya sekeping dari teka-teki gambar keberlanjutan?

Berbagai pelajaran dari Amazon Brasil menunjukkan pentingnya pergeseran ke arah tata guna lahan yang lebih lestari.
Bagikan
0
Peternakan sapi merupakan salah satu penyebab deforestasi hutan di Amazon Brasil. Kate Evans/CIFOR

Bacaan terkait

Di tengah berbagai usaha untuk mencapai ‘nol deforestasi’, penting untuk mengingat bahwa menghentikan deforestasi bukan semata tentang hutan, dan juga tidak selalu baik untuk penduduk setempat. Akan sangat tergantung pada bagaimana hal ini dilakukan. Dengan demikian komitmen juga harus melibatkan menemukan model investasi dan produksi yang dapat dilaksanakan untuk semua pemangku kepentingan – publik atau swasta, besar atau kecil – dan mendukung petani kecil yang bergantung pada komoditas pertanian untuk mata pencaharian mereka.

Kita telah memasuki era di mana pemerintah dan perusahaan sedang menuju ke arah yang sama: pemerintah sedang secara aktif menempatkan berbagai kebijakan dan peraturan yang ditujukan untuk mengurangi deforestasi, sementara sektor swasta semakin meningkat dalam membuat komitmen sukarela terhadap rantai pasokan bebas deforestasi. Pada waktu yang sama, kita menyaksikan perkembangan pesat teknologi dan peralatan untuk pemantauan dampak pada skala.

Hal ini penting, dalam konteks ini, bukan hanya menegakkan peraturan progresif mana pun yang ditujukan untuk menghentikan deforestasi tetapi juga untuk memantau berbagai usaha perusahaan untuk mencapai komitmen yang mereka tetapkan sendiri.

Namun solusi apa pun yang muncul harus dapat diterima oleh masyarakat yang lebih luas baik di dalam maupun diluar area hutan.

Menentukan keseimbangan yang benar antara semua faktor ini penting bila berbagai usaha bergeser ke penggunaan lahan yang lebih berkelanjutan, bisnis dan investasi akan berumur panjang.

Untuk sebuah solusi dapat berumur panjang, diperlukan beberapa karakteristik khusus: Solusi tersebut harus memberikan lebih banyak pendapatan bagi semua pemangku kepentingan, harus mendukung pembagian setara dari biaya dan manfaat terkait dengan kebijakan lingkungan baru dan berbagai kendala pasar, dan solusi tersebut harus memberdayakan pemangku kepentingan setempat untuk menggunakan sumber daya alam dengan cara yang lebih berkelanjutan.

MELIBATKAN IMBAL BALIK (TRADE OFF)

Amazon Brasil dan Indonesia, sebagai wilayah dengan dua dari hutan tropis terbesar di dunia yang masih tersisa, menarik cukup banyak perhatian bila berbicara tentang pengelolaan kehilangan hutan dan berbagai dampak lingkungan terkait. Sebagai negara berkembang, mereka menghadapi tantangan besar untuk menjaga keseimbangan sasaran sosial, ekonomi dan lingkungan hidup. Mereka harus mencari berbagai cara yang efektif untuk mengurangi deforestasi tanpa juga mengurangi pendapatan nasional mereka dari berbagai sektor berbasis lahan, atau menghancurkan berbagai opsi enonimi yang menjadi tempat bergantung banyak orang untuk mata pencaharian mereka dan yang mempertahankan pembangungan pedesaan.

Untuk banyak pemerintah dan pengambil keputusan bisnis di Brasil dan Indonesia, sebagaimana halnya di negara lain, imbal balik terkait dengan komitmen ‘nol deforestasi’ belumlah jelas.  Pemerintah menyasar nol deforestasi ilegal sementara bisnis menyasar deforestasi (net/bersih) nol. Namun, sasaran-sasaran ini dapat menghancurkan sasaran sosial dan ekonomi bila kondisi yang tepat untuk bertransisi menuju pertanian yang lebih intensif dan efisien-eko tidak ada.

Beberapa usaha untuk menahan deforestasi telah memiliki efek kebocoran, menghasilkan perubahan penggunaan lahan secara tidak langsung di daerah-daerah lain, atau telah menimbulkan risiko dikecualikannya para petani kecil. Misalnya, usaha untuk menahan deforestasi di Amazon telah mengarah pada kehillangan tutupan pohon lebih tinggi di ekosistem lain, sementara standar kualitas dan lingkungan baru di sektor kelapa sawit di Indonesia dapat mengarah pada pengecualian para petani kecil, sebagaimana diperdebatkan oleh  pemerintah Indonesia. Berbagai komitmen perusahaan juga dilihat sebagai mengarah pada peningkatan asimetri pasar, ketika para pelaku di hilir dari rantai nilai mungkin memperoleh pengendalian pasar lebih besar dan secara efektif melumpuhkan para pemilik lahan.

Brasil dan Indonesia menghadapi tantangan yang sama soal sosial dan keberlanjutan, namun lintasan perkembangan kedua negara serta konfigurasi kelembagaan dan ekonominya sangat berbeda.

Pablo Pacheco & Sophia Gnych

Oleh karenanya, merupakan hal yang paling penting untuk mencari cara yang tepat untuk mengoordinasikan kepentingan publik dan swasta yang berbeda, melintasi banyak skala. Bahkan, mencari berbagai solusi yang efektif dan bertahan untuk mengurangi deforestasi mungkin memerlukan penetapan sinergi yang kuat di antara kerangka kerja legal dan pengaturan dan komitmen swasta untuk mengatur rantai-rantai nilai.

PRODUKSI DAN LINDUNGI

Semakin bertambah, beberapa organisasi penelitian, LSM lingkungan hidup dan perusahaan barang konsumen menyukai pendekatan teritorial khusus dan yurisdiksi di bawah pendekatan ‘produksi dan lindungi.’ Konsep ‘produksi dan lindungi’ cukup sederhana, tetapi sulit untuk diterapkan; konsep ini bisa, misalnya, mengombinasikan strategi pembagian lahan dan penyisihan lahan untuk membuat keseimbangan antara pembangunan pertanian dan konservasi biodiversitas dengan cara yang mempertimbangkan kendala sosioekonomi lokal apa pun dan imbal balik. Memakai pendekatan bentang alam dapat menawarkan satu cara untuk bergerak maju.

Brasil, misalnya, telah membuat kemajuan penting dalam menyesuaikan berbagai peraturan lingkungan dengan Kode Hutannya, bersama dengan berbagai kesepakatan penting lainnya dengan industri dan pemilik lahan untuk mendukung kepatuhan hukum, semuanya yang telah dikombinasikan untuk mengurangi deforestasi secara signifikan di Amazon. Namun deforestasi di negara tersebut terus didorong oleh para petani kecil, yang sering kali tidak memiliki kondisi dan sumber daya yang tepat untuk mengubah sistem produksi mereka.

Di Indonesia, ada usaha untuk menegakan standar keberlanjutan nasional (ISPO), dan juga peningkatan minat dalam mengurangi tekanan terhadap lahan gambut, dan bahkan memaksa perusahaan dan para aktor lokal untuk memulihkan daerah lahan gambut terbakar. Hal ini muncul di bawah ekspansi sangat cepat oleh para petani kelapa sawit independen yang merangkul sistem hasil rendah dan bergantung pada jejaring intermediasi rumit. Masih diperlukan berbagai usaha yang lebih besar untuk meningkatkan sistem produksi yang ada dan mendukung model-model bisnis yang lebih berkelanjutan dan inklusif untuk para petani kecil.

PUBLIK BERTEMU SWASTA DI BRAZIL

Laju deforestasi tahunan di Amazon Brasil turun 77 persen antara 2004 dan 2011, tetapi telah menjadi stabil pada beberapa tahun terakhir di sekitar 5.000 km2. Pelambatan ini dapat diujuk ke beberapa inisiatif yang melibatkan berbagai usaha pelengkap publik dan swasta.

Pertama, ‘moratorium kedelai‘ didorong oleh sektor swasta dan masyarakat sipil, dan akhirnya ditandatangani pada 2006, berpengaruh pada pengurangan ekspansi kedelai ke lahan hutan dan membatasinya pada lahan yang sudah dikonversi, terutama di padang rumput.

Kemudian, pada tahun 2005 beberapa rencana pemerintah diterapkan untuk mengurangi deforestasi, seperti misalnya insentif besar untuk para pemilik lahan untuk secara sukarela bertekad untuk melindungi dan/atau memulihkan Wilayah Preservasi Permanen (APP) dan Reservasi Legal (LR) mereka.

Dinas lingkungan hidup negara mengembangkan ‘Syarat Pengaksesan dan Komitmen’-nya (TAC), yang mengharuskan para pemilik lahan yang berlangganan pada TAC untuk mendaftar di Rural Environment Cadaster (CAR). Pendaftaran membuat mereka kebal terhadap sanksi karena merusak hutan atau vegetasi alami, selama mereka tetap berkomitmen terhadap restorasi (pemulihan) APP dan LR yang terdampak.

Dua peristiwa besar lainnya mendorong para pemilik lahan untuk menyetujui TAC. Yang pertama adalah keputusan pada tahun 2009 oleh tiga pasar swalayan besar di Brasil selatan untuk menangguhkan kontrak dengan para pemasok yang ternyata terlibat dalam deforestasi Amazon. Industri daging sapi mulai membeli hanya dari para pemilik lahan yang memiliki CAR. Yang kedua adalah, apa yang disebut ‘kesepakatan ternak’. Sejak 2010, Kantor Jaksa Penuntut Publik telah mendukung program ini dengan industri daging sapi untuk mensertifikasi ‘daging sapi legal’ yang dibeli dari para pemilik lahan dengan TAC yang telah ditandatangani. Badan yang disebut terakhir mengukur berbagai usaha industri daging sapi untuk melacak pasokan mereka, agar mematuhi peraturan lingkungan hidup. Hal ini telah membantu mengurangi deforstasi oleh para pemilik lahan skala menengah dan besar, tetapi deforestasi tetap bertahan di antara para petani kecil di perbatasan.

Saat ini, menurut data yang diproses oleh EMBRAPA, Korporasi Penelitian Pertanian Brasil, kurang-lebih 60 persen lahan terdeforestasi di Amazon Brasil merupakan padang rumput yang mendukung produksi daging ternak yang relatif ekstensif. Para petani kecil melakukan kurang lebih 20 persen pemeliharaan ternak dalam sistem pertanian yang lebih terdiversifikasi yang bergantung pada campuran pendapatan dan pertanian tanamanan pangan tunai. Meskipun demikian, masih ada banyak tantangan terkait dengan penjaminan legalitas daging sapi dari para pemilik lahan, yang mengakibatkan kebocoran dan pencucian yang terkait dengan keberadaan rantai pasokan yang rumit.

MENGINTENSIFIKASIKAN PEMELIHARAAN TERNAK

Kekhawatiran muncul tentang tidak cukupnya kemajuan yang dibuat terhadap intensifikasi pemeliharaan ternak. Intensifikasi sering kali terbatas pada sejumlah kecil peternak bermodal kuat, skala besar, beberapa peternak skala besar lainnya, sejumlah lebih besar peternak skala menengah, dan para petani kecil yang bergantung pada pemeliharaan ternak yang berjuang untuk memperbaiki sistem produksi mereka. Situasi mereka menjadi lebih buruk dengan kendala mereka terhadap pengaksesan dana.

Investasi dibutuhkan untuk menghasilkan daging sapi yang lebih banyak dan berkualitas lebih baik per unit lahan. Ada pasar lahan di Amazon, dan banyak investasi berasal dari luar wilayah untuk mendukung ekspansi daging sapi dan kedelai. Namun investasi dari luar wilayah tersebut yang secara potensial dapat berkontribusi pada intensifikasi penggunaan lahan yang lebih besar di Amazon terkendala karena tenurial lahan tidak jelas dan ada berbagai risiko lingkungan hidup yang terkait.

Beberapa proyek dan program pemerintah ditempatkan untuk mendukung intensifikasi pemeliharaan ternak. Sebagai contoh, Brazilian Roundtable on Sustainable Beef (GTPS) telah mendaftarkan 12 inisiatif di Brasil yang mendukung model-model untuk memungkinkan produksi daging sapi berkelanjutan.

Namun dua faktor utama terus menghambat kemajuan.

Pertama, teknologi yang direkomendasikan untuk mendukung intensifikasi produksi ternak, sebagaimana terkandung dalam praktik pengelolaan yang baik untuk produksi daging ternak, cenderung bergantung pada penggunaan yang cukup besar dari masukan kimiawi. Hal ini menjadikannya lebih mahal untuk diadopsi, dan dengan demikian membatasi penggunaannya pada sejumlah kecil peternak skala besar.

Kedua, tidak selalu padang rumput penggembalaan terbaik yang telah digunakan untuk penanaman tanaman pangan, karena ekspansi perbatasan terjadi secara tidak terorganisir. Selanjutnya, meskipun moratorium kedelai telah benar-benar merangsang ekspansi kedelai ke padang rumput, hal tersebut juga telah menyebabkan tanaman pangan tersebut menguasai padang rumput yang paling produktif di lahan yang paling cocok dengan akses yang lebih baik ke infrastruktur. Namun, meskipun area luas padang rumput yang terdegradasi tersedia, hanya sedikit pengertian ekonomi (penambahan pendapatan) untuk memulihkannya.

Menariknya, Amazon Brasil memiliki potensi besar untuk produksi daging sapi berkelanjutan karena sumber dayanya yang berlimpah, termasuk tanahnya yang dalam, energi matahari berlimpah dan curah hujan tinggi. Bahkan pada musim kering (yang diperburuk oleh deforestasi), faktor-faktor ini dapat memungkinkan produksi di Amazon untuk mencapai tingkat efisiensi yang lebih tinggi secara signifikan, lebih unggul dari wilayah-wilayah lain, untuk unit lahan yang sama, dengan pengelolaan yang tepat.

Ada beberapa alternatif untuk sistem produksi dengan masukan tinggi, yang berbasis pada introduksi legume (kacang-kacangan), pepohonan atau semak untuk memperbaiki produksi makanan ternak selama musim kering. Khususnya perlu diperhatikan adalah sistem produksi terpadu tanaman pangan – ternak – pepohonan, yang dapat memenuhi kebutuhan dan kapasitas petani skala menengah dan petani kecil. Namun, insentif  dan sumber daya dana untuk petani dalam mengadopsi sistem ini belum tersedia.

Beberapa inisiatif lainnya telah muncul, seperti memberikan kredit untuk mendukung pertanian rendah-karbon, di bawah program ABC, tetapi inisiatif yang menjanjikan ini telah menghadapi tantangan dalam peningkatan skala, terkait dengan kurangnya kepemilikan formal lahan dan kompetisi dari kredit dengan risiko yang lebih rendah.

JALAN KE DEPAN

Pada sisi lain dari dunia, pemerintah Indonesia juga sedang berjuang untuk menyelaraskan dan menegakan berbagai kebijakan tenurial dan tata guna lahan melintasi berbagai tingkatan pemerintah, termasuk berbagai kebijakan yang ditujukan untuk menghindari penggunaan api untuk membuka lahan untuk perkebunan kelapa sawit dan pada pengurangan emisi gas rumah kaca dari lahan gambut.

Kelompok-kelompok perusahaan besar telah merangkul kebijakan ‘tanpa deforestasi, tanpa gambut, tanpa eksploitasi’, yang berlaku untuk perusahaan induk mereka dan pemasok pihak ketiga mereka.

Tetapi kebijakan korporat menghadapi oposisi dari pemerintah, yang khawatir bahwa selimut kebijakan ‘tanpa deforestasi’ akan membatasi akses pasar untuk  para petani kecil, dan bertentangan dengan peraturan dan otoritas nasional. Sebagai tambahan, perusahaan sedang menghadapi tantangan dalam mengimplementasikan sistem keterlacakaan di mana para petani kecil terlibat.

Brasil dan Indonesia menghadapi tantangan sosial dan keberlanjutan yang serupa, tetapi lintasan pembangunan dan kelembagaan dan konfigurasi ekonomi keduanya berbeda nyata.

Pengalaman Brasil mungkin memberi pelajaran berharga untuk Indonesia mengenai cara-cara untuk membantu pengaturan kelembagaan yang efektif dalam memperlambat deforestasi. Dalam sisi ini, penting untuk merefleksikan bukan hanya pada berbagai perubahan kelembagaan inti yang telah membantu memperlambat deforestasi di Brasil, tetapi juga pada perubahan yang telah muncul sebagai akibatnya.

Pelajaran penting dari pengaturan kelembagaan efektif mengindikasikan bahwa penting untuk:

  • Memiliki kerangka kerja hukum yang jelas dengan sedikit lingkup untuk ambiguitas yang dapat ditegakkan secara konsisten.
  • Membangun sistem pemantauan yang transparan yang diterima oleh masyarakat yang lebih luas.
  • Mengadopsi pendekatan langkah demi langkah, terutama dalam kaitannya dengan pengaturan lahan dan komitmen terhadap pemulihan hutan.
  • Menggunakan instrumen-instrumen kebijakan ekonomi, terutama transfer fiskal dan kredit, untuk menegakkan peraturan lingkungan hidup.
  • Lebih lanjut mengencangkan kebijakan yang membatasi penggunaan lahan, sambil menciptakan insentif untuk praktik yang baik.
  • Mendukung berbagai kesepakatan antara para pelaku yang berbeda, seperti pengecer, industri dan negara.

PERTANYAAN YANG TERSISA

Memperlambat deforestasi memang penting, tetapi tidak boleh menjadi target utama. Berbagai usaha untuk mengintensifikasi sebagai bagian dari transisi yang lebih luas menuju tata guna lahan yang lebih berkelanjutan dan investasi dan model-model bisnis yang inklusif harus diterapkan secara paralel.

Masih ada beberapa pertanyaan kunci untuk masa depan:

  • Insentif positif apa yang dibutuhkan untuk mendukung petani kecil dalam konteks perlambatan deforestasi di Brasil?
  • Sinergi dan ketegangan apa yang ada antara sektor publik dan swasta di Brasil untuk memfasilitasi transisi menuju sistem-sistem penggunaan lahan yang lebih berkelanjutan dan produksi?
  • Apakah inisiatif yang sedang diterapkan oleh industri untuk mendorong rantai pasokan yang lebih berkelanjutan? Apakah ada sistem yang mungkin untuk memberi penghargaan bagi kinerja baik dari para pemasok?
  • Apakah mungkin untuk memadukan pendekatan-pendekatan tata kelola rantai pasokan dan penggelolaan bentang alam? Sudut pandang inovatif apakah yang telah berevolusi di Amazon Brasil?
  • Bagaimana kita dapat mengembangkan tanggapan kebijakan yang lebih efektif di Indonesia yang menghentikan dampak deforestasi sambil secara bersamaan mendukung model-model bisnis yang lebih inklusif?
Informasi lebih lanjut tentang topik ini hubungi Pablo Pacheco di p.pacheco@cgiar.org.
Kebijakan Hak Cipta:
Kami persilahkan Anda untuk berbagi konten dari Berita Hutan, berlaku dalam kebijakan Creative Commons Attribution-NonCommercial-ShareAlike 4.0 International (CC BY-NC-SA 4.0). Peraturan ini mengijinkan Anda mendistribusikan ulang materi dari Kabar Hutan untuk tujuan non-komersial. Sebaliknya, Anda diharuskan memberi kredit kepada Kabar Hutan sesuai dan link ke konten Kabar Hutan yang asli, memberitahu jika dilakukan perubahan, termasuk menyebarluaskan kontribusi Anda dengan lisensi Creative Commons yang sama. Anda harus memberi tahu Kabar Hutan jika Anda mengirim ulang, mencetak ulang atau menggunakan kembali materi kami dengan menghubungi forestsnews@cifor-icraf.org