Liputan Acara

Suara perempuan di perkebunan sawit

Penelitian mencoba mengungkap pengalaman perempuan dalam salah satu industri yang tumbuh sangat cepat di Indonesia
Bagikan
0

Bacaan terkait

Menjelang dengan Hari Perempuan Internasional pada 8 Maret lalu, CIFOR dan para mitranya menggelar dialog kebijakan multi-pemangku kepentingan bertema ‘Tata kelola sawit untuk jender dan pemberdayaan perempuan’ di Jakarta, Indonesia. Iinformasi lengkap diskusi tersedia di tautan berikut ini.

Sebelum mentari terbit, Magdalena Pandan (35 tahun) sudah mendatangi kebun karet miliknya, memasak untuk keluarga, memandikan dan menyiapkan anak-anak sekolah. Saat fajar tiba, ia menunggu dijemput perusahaan menuju perkebunan. Di perkebunan, ia menabur hingga 300kg pupuk dan pekerjaan ini menyakiti tangannya. Ia tidak menggunakan sarung tangan karena khawatir memperlambat gerak hingga gagal mencapai target harian. Sore hari, ia pulang ke rumah untuk bekerja di sawah, dan melakukan tugas rumah tangga.

Ibu tiga anak ini mengaku tidak akan mampu melakukan kerja seperti ini selamanya. “Tapi bagaimana lagi kalau tidak ada kerjaan lain?” katanya. “Paling kita kembali lagi ke perkebunan sawit.”

Kisah Pandan merupakan satu contoh pengalaman perempuan dalam industri sawit Indonesia yang didiskusikan pada dialog kebijakan di Jakarta, pekan lalu. Dialog yang digelar Pusat Penelitian Kehutanan Internasional (CIFOR), Universitas Indonesia dan Universitas Brighton ini menyoroti temuan terbaru pengalaman perempuan dalam ekspansi sawit di Indonesia.

Penelitian CIFOR mengungkap peran sentral perempuan dalam sawit – sebagai masyarakat terdampak akibat ekspansi sawit, dan sebagai pekerja formal atau informal, sekaligus petani produsen.

Ketidaksetaraan jender merajalela saat terjadi transfer lahan untuk sawit, perlakuan terhadap pekerja, dan peluang bagi petani kecil. Namun, penelitian terbaru dan diskusi kebijakan mengenai sawit lestari jarang sekali mempertimbangkan isu jender. Padahal para peneliti merekomendasikan bahwa dengan meningkatkan hak dan memperluas peluang perempuan, menjadi faktor penting jika sawit ingin benar-benar lestari.

Pada dialog pecan lalu berkumpul beragam pemangku kepentingan, mulai dari sektor swasta, kelompok advokasi hak perempuan, pemerhati sawit, dan berbagai organisasi pendukung sawit untuk mendapat informasi penelitian yang tengah dilakukan CIFOR, termasuk mendiskusikan tantangan dan peluang penanganan isu jender di sektor ini.

   Singapue menunjukkan buah sawit digenggamannya. Foto oleh: Icaro Cooke Vieira/CIFOR

Hak Lahan

Membangun kesadaran bebas dan memberikan informasi pada masyarakat lokal, termasuk masyarakat adat, dalam perubahan status lahan merupakan fondasi sawit yang bertanggungjawab. Namun, penelitian menunjukkan, di banyak kasus, hal ini tidak secara layak diupayakan, dan perempuan khususnya, terasingkan dari proses ini.

Ditempatkan sebagai kepala keluarga, lelaki biasanya terlibat negosiasi dengan perusahaan swasta dan pemerintah, dan tidak mengikutsertakan perempuan dalam pembicaraan. Pembagian tugas ini merupakan sebagian dari bentuk norma jender di beberapa masyarakat lokal. Namun di wilayah di mana perempuan secara tradisional memiliki hak setara, pola ini malah memasukkan selapis ketidaksetaraan. Tanpa pemahaman kompleksitas sistem tenurial masyarakat adat, proses ini bisa membuat perempuan akan kehilangan lahannya.

Hal ini berdampak langsung bagi keamanan pangan dan kesejahteraan masyarakat. Sebelum masuknya sawit, perempuan di banyak masyarakat adat bergantung pada perladangan berpindah dalam budi daya padi dan hutan untuk kayu bakar, pangan dan tumbuhan obat. Mengeluarkan mereka dari negosiasi tenurial berarti membungkam mereka dari keputusan yang secara fundamental mengubah hidup dan bentang alam mereka.

“Perempuan perlu dipandang sebagai pemangku kepentingan penting,” kata Devi Anggraini, Direktur hak perempuan dan masyarakat adat divisi Perempuan AMAN, saat dialog di Jakarta.

“Kesadaran bebas dan terinformasi harus dipertimbangkan, tidak hanya perlu dilakukan oleh perusahaan yang datang, tetapi juga oleh masyarakat.”

   Tim proses fertilisasi sedang beristirahat sebelum melanjutkan kegiatannya. Foto oleh: Icaro Cooke Vieira/CIFOR
   Proses fertilisasi tanah. Foto oleh: Icaro Cooke Vieira/CIFOR

Tenaga Kerja

Lapangan kerja formal sektor sawit, menurut penelitian, cenderung membedakan jender. Lelaki biasanya mendapat pekerjaan yang membutuhkan kerja fisik. Namun, dengan tingginya target panen, mereka akhirnya bergantung pada istri dan keluarga sebagai ‘pekerja bayangan’ dalam menyelesaikan tugas. Hasilnya, kontribusi pekerja perempuan di sektor ini cenderung tak terlihat dan tak terkompensasi.

Ketika perempuan terlihat, mereka dikelompokkan dalam kategori pekerja tidak tetap, khusus mengelola pupuk dan pestisida, dengan bayaran tak sesuai dengan kontribusinya. Secara rata-rata, perempuan menerima upah di bawah lelaki, dan sebagai pekerja tidak tetap, tidak ada jaminan keamanan kerja atau manfaat lain.

Tuti Suryani Sirait, seorang auditor sosial kantor konsultan Sucofindo, menyatakan bahwa kondisi ini berpotensi melanggar hukum.

“Pekerjaan harian dengan jumlah jam tetap tidak bisa dianggap sebagai kerja tidak tetap,” katanya.

Tuti menambahkan bahwa banyak perempuan bekerja melebihi batas rekomendasi waktu kontak dengan zat kimia, hingga berpotensi berdampak buruk bagi kesehatan sendiri dan keluarga. Ada pula aturan yang melarang wanita hamil atau menyusui melakukan pekerjaan seperti ini, dan jika dilanggar mengarah pada diskriminasi dan mengancam kesehatan.

“Tidak seharusnya mereka bekerja lebih dari lima jam mengurus pupuk dan pestisida, namun ini sering terjadi,” kata Tuti. “Ini masalah keselamatan. Peralatan perlindungan personal seringkali tidak tersedia dengan alasan efisiensi – ini tidak boleh terjadi.”

Sementara, perusahaan menyatakan bahwa kerja harian memberi fleksibilitas lebih bagi perempuan dan keluarganya.

Anita Neville, Wakil Presiden Komunikasi Perusahaan dan Relasi Berkelanjutan  perusahaan sawit Golden Agri-Resources, melontarkan pertanyaan: “Apakah kerja harian itu secara fundamental eksplotatif?’

“Para ibu khususnya memilih pekerjaan tidak tetap” katanya. “Kita perlu bertanya, apa kebutuhan holistik perempuan di masyarakat? Dan bagaimana kita membentuk pekerjaan harian sebagai pilihan bebas, dan pilihan yang berupah layak?”

   Jumlah pekerja perempuan di perkebunan kelapa sawit meningkat. Umumnya pekerja perempuan seperti Pandang Magdalena, 35 tahun, ditugaskan menyuburkan tanah disekitar penanaman kelapa sawit. Foto oleh: Icaro Cooke Vieira/CIFOR

Peluang Perubahan

Sistem sertifikasi seperti RSPO dan Indonesia Sustainable Palm Oil (ISPO) dikedepankan sebagai kanal perubahan sektor sawit. Peneliti CIFOR menyatakan bahwa pertimbangan isu jender dalam mekanisme sertifikasi, seperti pada Roundtable on Sustainable Palm Oil (RSPO), dapat membangun kesetaran jender dan pemberdayaan perempuan di sektor sawit.

Mekanisme seperti ini merupakan titik awal yang baik menjaga akuntabilitas perusahaan atas dampak sosial dan lingkungan. Tantangan lebih jauhnya adalah melibatkan cara kerja petani dalam perubahan besar di sektor ini.

Indah Fatinaware, Direktur Eksekutif pemantau sawit dari Sawit Watch, menuturkan bahwa sertifikasi merupakan proses yang panjang dan sulit bagi banyak petani. Cara lain adalah dengan menerapkan skema ‘plasma’, di mana perusahaan memberi sepetak lahan untuk dikelola masyarakat.  Namun, lanjut Indah, skema ini memunculkan masalah kesetaraan, transparansi dan investasi.

“Perempuan khususnya, tidak terlibat sama sekali dalam proses ini,” katanya saat dialog.

Eko Novi Ariyanti dari Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak menyatakan bahwa pemerintah berupaya menjamin kebijakan berkeadilan diterapkan dalam praktik sektor sawit.

“Bahkan ketika regulasinya ada, realitas di lapangan bisa berbeda,” katanya. “Tahun ini kami berencana mengkaji regulasi soal ini.”

Bimbika Sijapati Basnett, peneliti isu jender terkemuka CIFOR, berharap dialog di Jakarta ini menandai awal bagi diskusi lebih luas menuju perubahan.

“Banyak perbedaan sudut pandang mengenai sawit, jadi perlu upaya bersama berbagai kelompok agar sawit melindungi hak perempuan dan membuka luas peluang untuk mereka,” katanya.

   Buah kelapa sawit. Foto oleh: Icaro Cooke Vieira/CIFOR
Informasi lebih lanjut tentang topik ini hubungi Bimbika Sijapati Basnett di b.basnett@cgiar.org.
Kebijakan Hak Cipta:
Kami persilahkan Anda untuk berbagi konten dari Berita Hutan, berlaku dalam kebijakan Creative Commons Attribution-NonCommercial-ShareAlike 4.0 International (CC BY-NC-SA 4.0). Peraturan ini mengijinkan Anda mendistribusikan ulang materi dari Kabar Hutan untuk tujuan non-komersial. Sebaliknya, Anda diharuskan memberi kredit kepada Kabar Hutan sesuai dan link ke konten Kabar Hutan yang asli, memberitahu jika dilakukan perubahan, termasuk menyebarluaskan kontribusi Anda dengan lisensi Creative Commons yang sama. Anda harus memberi tahu Kabar Hutan jika Anda mengirim ulang, mencetak ulang atau menggunakan kembali materi kami dengan menghubungi forestsnews@cifor-icraf.org