Bagikan
0

Bacaan terkait

Lahan gambut tropis merupakan penyerap karbon yang masif. Apa yang terjadi ketika terjadi air surut, atau fungsi lahannya diubah?

Setelah kebakaran besar di Sumatera dan Kalimantan, Indonesia pada 2015, yang antara lain diakibatkan pengeringan gambut, signifikansi ekosistem dan lingkungan lahan basah terangkat menjadi fokus diskusi global.

“Penting sekali melindungi lahan gambut tropis untuk memerangi perubahan iklim. Dengan memantu emisi dari gambut terdegradasi dan akibat kebakaran, kini kita tahu seberapa penting mereka,” kata ilmuwan Pusat Penelitian Kehutanan Internasional (CIFOR), Daniel Murdiyarso.

Pada salah satu lokasi penelitiannya di Riau – bagian Sumatera yang kini tertutupi sawit – ia memeriksa apa yang terjadi setelah lahan gambut  dikeringkan, dibakar dan direstorasi.

Meski restorasi yang terlihat sangat beragam, seperti beragamnya definisi restorasi itu sendiri.

DESKRIPSI TEBAL

“Tidak banyak penelitian restorasi lahan gambut tropis. Boreal, ya,” katanya, mengisyarakatkan mengapa usaha menempuh jalan berlubang sejak dari Dumai ini menjadi sangat penting, bahkan mungkin menjadi langkah terobosan.

Menurut Murdiyarso, kebutuhan restorasi sangat kompleks, tidak hanya melibatkan proses ekologis, namun juga proses sosio-ekonomi yang sejak awal tampaknya menjadi penyebab degradasi.

“Kita perlu melibatkan masyarakat lokal, dan memanfaatkan inisiatif lokal di bentang alam tersebut,” katanya, upaya yang diperlukan jika kita ingin melindungi lahan gambut dan mencegah degradasi lebih jauh.

Pada lahan gambut Indonesia – tempat sebagian besar gambut tropis berada – langkah pertamanya adalah membendung kanal yang awalnya digunakan untuk mengeringkan lahan, agar permukaan air naik.

Tetapi apakah upaya ini membuat gambut kembali ke kondisi awal?

“Pembasahan kembali lahan gambut harus dikombinasikan dengan revegetasi bentang alam,” kata Murdiyarso menambahkan bahwa material organik dalam gambut seringkali dilupakan dalam gambar besar restorasi.

Dalam menentukan sejauh mana degradasi lahan gambut dan cara terbaik merehebalitasinya, para ilmuwan CIFOR menetapkan lokasi penelitian di Sumatera dan Kalimantan, bersama mitra dari Universitas Riau, Universitas Palangkaraya dan lembaga pemerintah. Bukti ilmiah yang didapat dimanfaatkan sebagai landasan informasi Badan Restorasi Gambut (BRG), selain juga untuk strategi adaptasi dan mitigasi perubahan iklim global.

SUMBAT AIR

Penelitian ini mencakup upaya mengumpulkan data, seperti mengukur emisi karbon, menganalisa komposisi tanah dan memantau pertumbuhan pohon.

   Foto: Deanna Ramsay/CIFOR
   Foto: Deanna Ramsay/CIFOR

Tujuh hektare lokasi penelitian di luar desa Tanjung Leban, Kabupaten Bengkalis, Riau, berisi petak-petak lahan gambut  yang kini dikelilingi bendung kanal, dan pintu airnya dikelola masyarakat lokal. Lahan tertutupi oleh campuran spesies pohon rawa gambut, sawit dan karet.

Sofyan Kurnianto, mahasiswa Ph.D. Universitas Negeri Oregon yang bekerja dengan CIFOR, meneliti tinggi air di lahan gambut alami dan di lahan terdegradasi.

“Bendung kanal akan mempengaruhi seberapa banyak air dapat disimpan gambut. Pertanyaan besar di antara para ilmuwan adalah – setelah restorasi – seberapa besar kapasitas penyimpanan ini berubah,” katanya.

Pengeringan dan pembasahan kembali menyebabkan gambut menyusut dan membesar, dan menimbulkan perubahan tinggi permukaan. Untuk memantau perubahan inni, beberapa batang tabel elevasi permukaan (RSET) dipasang.

Dan, sebagai langkah terobosan, Radar Penetrasi Daratan digunakan. Teknik survei inovatif yang memanfaatkan transmisi ke antena penerima ini sudah sering digunakan pada penelitian lahan gambut boreal, namun di lahan gambut tropis, ini adalah yang pertama kali.

CUKUP GAMBUT

Hasil penelitian berupa pemetaan kedalaman gambut pada tiap jenis pemanfaatan lahan, menjadi informasi berharga mengenai bentang alam berlumpur yang kaya ini.

Pada COP22 di Marrakesh tahun lalu, Inisiatif Lahan Gambut Global diluncurkan dengan tujuan menggerakkan pemerintah, organisasi internasional dan peneliti untuk fokus pada perlindungan dan restorasi. Baru-baru ini, Presiden Indonesia, Joko Widodo mengumumkan bahwa negaranya akan merestorasi 400.000 hektare gambut pada akhir 2017.

Di Riau, penelitian terobosan – dalam arti nyata maupun kiasan – ini membangun pengetahuan agar berdampak pada proses kebijakan dan restorasi. Para ilmuwan juga melatih berbagai pihak lain untuk melanjutkan upaya pemantauan, analisis data dan interpretasinya.

“Penelitian mengenai lahan gambut sangat penting di Indonesia, khususnya di Riau, sebagai bentang alam dominan. Tata kelola yang baik menjadi penting. Kesalahan tata kelola akan memberi dampak besar bagi hidup manusia dan lingkungan,” kata Sigit Sutikno, profesor Universitas Riau, yang mengunjungi lokasi penelitian dengan para mahasiswanya.

   Mahasiswa Universitas Riau mengukur lingkar pohon sebagai bagian dari proyek SWAMP yang didanai oleh USAID. Foto: Deanna Ramsay/CIFOR
   Proyek SWAMP CIFOR tersebar di lokasi restorasi gambut di berbagai wilayah di Indonesia. Di luar Dumai, di Riau, satu lokasi sekarang ditanami pohon karet. Foto: Deanna Ramsay/CIFOR

Di bawah keteduhan pohon yang meneteskan getah karet segar, ilmuwan dan calon ilmuwan melakukan pengukuran tanah, berulang-ulang menusukkan alat seperti tombak ke dalam tanah berlempung, memasukkan tanah dalam kantong plastik untuk dibawa ke labolatorium di Bogor. Mereka mengukur stok karbon permukaan, dengan menempatkan alat kecil dalam petak gambut tertentu dan mencatat hasilnya. Lusinan dendrometer ditempatkan secara hati-hati di sekitar batang pohon, baik kecil maupun besar, dengan tangkapan serasah untuk mengumpulkan reruntuhan hutan yang membuat area itu berwarna oranye muda.

Sutikno meneliti efektivitas bendung kanal untuk air permukaan. Penelitian lahan gambutnya menggunakan pemodelan untuk estimasi dan pendugaan tingkat air gambut.

“Pemodelan hidrologis di lahan gambut tidak mudah, karena keunikan hidrologi lahan gambut,” katanya, seraya menambahkan bahwa satu elemen pentingnya adalah memahami bagaimana memitigasi risiko kebakaran.

Potongan-potongan kayu menghitam terserak di sekitar lokasi, sisa-sisa kebakaran tiga tahun lalu. Lokasi itu kini ditanami pohon karet yang disadap penduduk sekitar sebagai tambahan penghasilan, dan pohon sawit pada petak-petak yang dikelola pemilik lahan lokal. Restorasi yang tengah berlangsung mulai kelihatan bentuknya.

Ketika diminta untuk mendefinisikan lahan gambut “terestorasi”, Murdiyarso menjawab singkat, “kembalinya spesies asli dan dominasi air.”

Apakah hal ini mungkin terwujud, itu akan menjadi pertanyaan lain. Tetapi setidaknya kita tahu, satu spesies telah kembali – manusia.

Riset ini didukung oleh USAID and the US Forest Service.
Kebijakan Hak Cipta:
Kami persilahkan Anda untuk berbagi konten dari Berita Hutan, berlaku dalam kebijakan Creative Commons Attribution-NonCommercial-ShareAlike 4.0 International (CC BY-NC-SA 4.0). Peraturan ini mengijinkan Anda mendistribusikan ulang materi dari Kabar Hutan untuk tujuan non-komersial. Sebaliknya, Anda diharuskan memberi kredit kepada Kabar Hutan sesuai dan link ke konten Kabar Hutan yang asli, memberitahu jika dilakukan perubahan, termasuk menyebarluaskan kontribusi Anda dengan lisensi Creative Commons yang sama. Anda harus memberi tahu Kabar Hutan jika Anda mengirim ulang, mencetak ulang atau menggunakan kembali materi kami dengan menghubungi forestsnews@cifor-icraf.org