Berita

Kekuatan lahan gambut

Bioenergi lestari dari hutan gambut tropis
Bagikan
0
Foto: CIFOR

Bacaan terkait

Meski hanya menutupi 3 persen daratan bumi, di dalam lahan gambut tersimpan sekitar 20 persen karbon dunia (dalam tanah dan tanaman yang tumbuh pada ekosistemnya). Kebakaran gambut dan meluasnya pengeringan lahan untuk kepentingan perkebunan seperti sawit, melepaskan sejumlah besar karbon seperti karbon dioksida (CO2) ke atmosfer.

Salah satu bencana lingkungan terburuk dunia terjadi di Indonesia pada 2015, ketika itu emisi COharian akibat kebakaran selama 26 hari tersebut melampaui emisi harian keseluruhan  ekonomi AS.

Setelah kejadian tersebut, semua orang, mulai dari pakar, pecinta lingkungan hingga pejabat pemerintah sepakat untuk melindungi hutan gambut yang tersisa.

Namun, bagaimana dengan lahan gambut yang telah terdegradasi?

Saat ini, para ilmuwan dari Pusat Penelitian Kehutanan Internasional (CIFOR) dan institusi mitra meneliti bagaimana lahan gambut dapat dikelola secara berkelanjutan untuk menghasilkan bioenergi dari tanaman yang dapat mengurangi, atau bahkan mencegah emisi karbon.

“Budi daya sawit membutuhkan tanah lebih kering, jadi masyarakat mengeringkan lahan gambut, namun ini berdampak besar terhadap degradasi gambut, karena gambut bergantung pada air untuk bertahan,” kata Dr. Nils Borchard, peneliti dari Universitas Ruhr di Bochum,  Jerman.

“Tidak mudah untuk merestorasi lahan gambut yang telah berevolusi selama ratusan atau ribuan tahun, dan tidak mudah mengelola tingkat air permukaan pada bentang alam luas karena kita perlu tahu bagaimana bentang alam ini berinteraksi dengan sistem air setempat,” katanya. “Namun hal ini dimungkinkan melalui praktik tata kelola bentang alam dan kehutanan yang baik.

PRODUKTIF DAN TERJAGA

Para peneliti menekankan perlunya alternatif cara pemanfaatan lahan, misalnya mengajarkan petani metode terbaru untuk menghentikan kerusakan dan menjaga stok karbon tersisa di lahan pertanian.

Paludiculture – yang menggabungkan pemanfaatan produktif lahan gambut basah dengan mempertahankan badan gambut – adalah sebuah kata baru lingkungan yang populer. Membasahi lahan gambut terdegradasi, dan kemudian menerapkan teknik paludiculture dapat membantu memitigasi dampak perubahan iklim, dan di beberapa tempat, mampu merestorasi gambut.

Pada gilirannya, hal ini membantu mencegah kebakaran, melindungi spesies dalam ekosistem ini, menyediakan peluang lapangan kerja baru dan bahan baku bioenergi.

Tata kelola hutan berkelanjutan di lahan gambut memerlukan jumlah air yang secara konstan menutupi permukaan tahan, jadi ada kebutuhan mengembangkan dan mengadaptasikan teknologi yang mampu mengelola dan membudidayakan tanaman di lahan basah.

“Kita perlu melihat bagaimana spesies bioenergi dibudidayakan secara baik dan berkelanjutan dalam kondisi ini, dan mengidentifikasi spesies yang mampu membantu melindungi stok karbon tersisa di lahan gambut,” kata Borchard.

“Di banyak negara tropis seperti Indonesia, muncul kebutuhan informasi lebih di bidang ini, khususnya dalam hal energi terbarukan.”

Penelitian terbaru melihat bagaimana spesies dapat dengan baik dibudidayakan pada jenis tertentu lahan gambut terdegradasi untuk merestorasinya menjadi hutan lestari, serta menghasilkan biomassa dan bio-oil. Produk tersebut kemudian dapat dikonversi menjadi biodiesel melalui metoda pemrosesan sederhana atau menjadi bioethanol dengan pendekatan lebih canggih.

“Kami mengembangkan basis data spesies kunci,” katanya. “Kami perlu mengetahui bagaimana pohon-pohon dapat ditanam di tiap hektare, berapa banyak bahan bakar yang dapat diproduksi dan waktu terbaik memanen dalam memaksimalkan energi yang dapat kita ekstraksi.”

MENGUBAH POLA

Namun apa yang perlu dilakukan untuk menjauhkan petani lokal dari godaan keuntungan menanam sawit, yang menghasilkan sejumlah besar minyak dan biofuel per hektarenya?

“Kita perlu mengidentifikasi spesies yang tumbuh relatif cepat untuk dikonversi,” Borchard. “Beberapa spesies yang memproduksi biomassa membutuhkan waktu bertahun-tahun untuk dewasa, namun kita juga dapat mengembangkan spesies pangan di lahan yang sama untuk memberi penghasilan rutin pada petani.”

Melalui pendekatan agroforestri berkelanjutan, sistem penanaman campuran dapat dikembangkan untuk menghasilkan biomassa dan bio-oil dalam jangka panjang, dan tanaman pangan cepat tumbuh dalam jangka pendek. Tanaman pangan ini kemudian diproduksi dan dijual, seraya memelihara tanaman bioenergi sampai panen dan dalam rentang waktu panen tanaman biomassa.

“Kita perlu melihat bagaimana petani yang menanam padi dan makanan pokok lain didukung, dan menerapkan pembelajaran di ini di hutan,” kata Borchard.

“Ada beberapa jalan bagi kita mendekati ini, namun kita perlu strategi holistik di mana pemerintah menyediakan subsidi bagi petani dalam memproduksi pangan. Petani hutan juga perlu dukungan praktis dan teknis, termasuk tata kelola agroforestri yang baik.

Untuk menjamin keberhasilan, Borchard menyarankan untuk menciptakan rantai nilai yang mengkaitkan petani dengan pasar biofuel. Ia menyebut Brasil, produsen bahan bakar etanol terbesar kedua di dunia, sebagai contoh.

“Brasil telah mengembangkan teknologi pertanian sangat efisien yang memanfaatkan tebu dan limbahnya untuk menghasilkan energi. Energi yang diproduksinya memiliki harga kompetitif dan memberi petani pasar yang baru.”

JANGAN BUANG WAKTU

Untuk mewujukan hal ini, ia menyarankan dilakukan penelitian mengenai kebutuhan energi lokal dan bagaimana agar secara efektif menciptakan suplai biofuel yang konsisten. Prioritas penelitian lain adalah melakukan eksaminasi kondisi sosio-ekonomi dan lingkungan yang diperlukan untuk menjamin keberhasilan adopsi dan implementasi praktik tersebut.

“Kita harus bekerja sama dengan berbagai pemangku kepentingan, berbagi dan memanfaatkan teknologi yang sesuai agar berhasil. Kita perlu memeriksa penelitian ilmiah yang telah ada dan menentukan data yang kurang,” kata Borchard.

“Kita tidak perlu mulai dari awal dan menciptakan lagi penggeraknya. Kita hanya perlu bekerja sama untuk mewujudkannya.”

TANTANGAN BONN DAN RESTORASI BENTANG ALAM HUTAN

Saat ini, delegasi dari sedikitnya selusin negara di Asia berkumpul di Palembang, Sumatera Selatan, Indonesia, untuk Konferensi Meja Bundar Regional Tantangan Bonn (9-10 Mei).

Dipimpin oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Republik Indonesia dan Pemerintah Daerah Sumatera Selatan, bekerja sama dengan International Union for Conservation of Nature (IUCN), pertemuan dua hari ini bertujuan mendorong momentum regional terkait Tantangan Bonn.

Tantangan Bonn merupakan sebuah  komitmen yang diluncurkan para pemimpin dunia pada pertemuan kementerian di Bonn, Jerman, September 2011. Dalam komitmen ini, ditargetkan restorasi 150 juta hektare lahan terdegradasi dan terdeforestasi pada 2020. Target gobal ini kemudian diperluas menjadi 350 juta hektare pada 2030 melalui Deklarasi Hutan New York, pada KTT Iklim PBB 2014.

Tantangan Bonn didasarkan pada Pendekatan Restorasi Bentang Alam Hutan (FLR), yang  bertujuan merestorasi integritas ekologis seraya meningkatkan kesejahteraan manusia melalui perwujudan bentang alam multi-fungsi. FLR termanifestasikan melalui berbagai strategi, seperti: penanaman pohon baru, mengelola regenerasi alami, agroforestri, atau peningkatan tata kelola lahan untuk mengakomodasi mosaik pemanfaatan lahan.

Pendekatan ini merupakan proses multi-pemangku kepentingan yang menyatukan badan pemerintah, institusi ilmiah dan akademik, masyarakat sipil dan masyarakat lokal dalam sebuah proses partisipatoris.

Indonesia memiliki peluang besar menjadi pemimpin global FLR. Salah satu pencapaian terbesar pemerintah dalam bidang kehutanan dan lingkungan pada 2016 adalah pembentukan Badan Restorasi Gambut. BRG bertugas merestorasi fungsi 2 juta hektare lahan gambut terdegradasi akibat kebakaran pada beberapa tahun lalu.

Temuan penelitian mendatang CIFOR mengenai bioenergi dari hutan gambut – yang akan diselesaikan beberapa pekan mendatang – akan menjadi informasi sangat penting untuk membantu berbagai negara mencapai target restorasinya dengan mempertimbangkan potensi besar bioenergi bersama dengan rehabilitasi lahan terdegradasi.

Informasi lebih lanjut tentang topik ini hubungi Nils Borchard di nils.borchard@rub.de atau Susanne Abel di susanne.abel@succow-stiftung.de atau Himlal Baral di h.baral@cgiar.org.
Riset ini didukung oleh National Institute of Forest Sciences (NIFOS), Korea
Kebijakan Hak Cipta:
Kami persilahkan Anda untuk berbagi konten dari Berita Hutan, berlaku dalam kebijakan Creative Commons Attribution-NonCommercial-ShareAlike 4.0 International (CC BY-NC-SA 4.0). Peraturan ini mengijinkan Anda mendistribusikan ulang materi dari Kabar Hutan untuk tujuan non-komersial. Sebaliknya, Anda diharuskan memberi kredit kepada Kabar Hutan sesuai dan link ke konten Kabar Hutan yang asli, memberitahu jika dilakukan perubahan, termasuk menyebarluaskan kontribusi Anda dengan lisensi Creative Commons yang sama. Anda harus memberi tahu Kabar Hutan jika Anda mengirim ulang, mencetak ulang atau menggunakan kembali materi kami dengan menghubungi forestsnews@cifor-icraf.org