Video T&J

Lera Miles, UN Environment: ‘Lahan gambut ternyata lebih banyak daripada dugaan’

Mengapa masyarakat internasional perlu ambil bagian dalam mendukung negara-negara Basin Kongo melindungi lahan gambutnya.
Bagikan
0

Bacaan terkait

Apakah temuan terbaru gambut di Basin Kongo akan menjadi anugerah atau beban bagi mitigasi perubahan iklim global?

Pilihannya tergantung pada apa yang terjadi kemudian, kata Lera Miles, Pejabat Senior Program Pusat Pemantauan Konservasi Lingkungan Hidup Dunia PBB.

Miles menjadi panelis pada Global Landscapes Forum: Peatlands Matter di Jakarta, 18 Mei. Acara ini menyatukan 425 pemangku kepentingan dari pemerintah, sektor swasta, masyarakat ilmiah dan masyarakat sipil dalam mempercepat aksi positif tata kelola lahan gambut global.

Ia mempresentasikan penelitiannya pada dsikusi ilmiah Forum sore hari, berjudul Menemukan kembali stok karbon lahan basah dan lahan gambut tropis, yang digelar dan dimoderasi oleh ilmuwan Pusat Penelitian Kehutanan Internasional (CIFOR). Sesi ini mendiskusikan alat terbaru untuk mengidentifikasi dan melokalisasi lahan basah dan lahan gambut, serta mengungkap bagaimana ilmuwan menentukan stok karbon.

Miles berbicara dengan Kepala Editorial Forests News Leona Liu mengenai bagaimana menjamin kelestarian lahan gambut yang baru ditemukan ini.

* Transkrip lengkap wawancara tersedia di bawah ini.

Apa fokus kerja Anda di UN Environment?

Saya bertugas di Pusat Pemantauan Konservasi Lingkungan Hidup Dunia PBB, yang berkantor di Inggris. Telah lebih dari 10 tahun, kami mengerjakan UN REDD+, terutama mendukung program UN REDD+ dan negara-negara peserta program ini untuk memikirkan bagaimana mengelola stok karbon hutan seraya meningkatkan nilai-nilai lain – menjamin perlindungan keragaman hayati, dan jasa lingkungan yang dibutuhkan masyarakat. Jadi termasuk memetakan upaya bagaimana mendistribusikan nilai-nilai tersebut di hutan, dan juga, beberapa perlindungan yang ada.

Pada sesi hari ini, Anda menjelaskan apa yang disebut ‘emas hitam’, atau stok karbon yang ditemukan di gambut. Bisakah dijelaskan apa yang telah Anda sampaikan pada forum diskusi tersebut?

Indonesia sudah lama mengetahui keberadaan stok karbon yang sangat penting di lahan gambut, dan di hutan. Namun, negara lain seperti Peru, Republik Kongo dan Republik Demokratik Kongo, baru mulai memperhatikan keberadaan stok karbon yang signifikan dalam lahan gambut di bawah permukaan. Jadi saya berbicara mengenai Basin Kongo Tengah.

Di antara dua negara itu, terdapat lembah yang disebut Cuvette Centrale. Luasnya setara Jerman dan telah diteliti oleh sebuah tim peneliti dari Inggris dan Republik Kongo. Mereka mengidentifikasi bahwa sekitar separuh wilayah itu kemungkinan berupa hutan rawa gambut. Sejak lama masyarakat sudah mengetahui keberadaan lahan gambut di wilayah ini, namun ternyata terdapat lahan gambut lebih luas dari pada dugaan kita semua, dan stok karbonnya lebih masif.

Temuan ini memberi negara-negara itu sesuatu yang baru dan sangat penting untuk dipikirkan mengenai apa yang akan dilakukan untuk memberi kontribusi pada mitigasi perubahan iklim dan memelihara stok karbon ekosistemnya.

Seberapa penting temuan ini?

Kita tahu bahwa para peneliti telah meneliti topik ini, namun saya benar-benar terkejut mengetahui luasan lahan gambut, yang sekitar lima kali dari apa yang diduga sebelumnya. Jumlah karbon dalam lahan gambut itu sekitar 30 gigaton karbon, setara dengan stok karbon di seluruh biomassa hutan kedua negara tersebut, jadi terdapat sejumah besar karbon terkonsentrasi di sana.

Apa langkah berikut? Apa yang seharusnya dilakukan?

Wilayah ini masih cukup terjaga, ini berita baik. Kondisinya masih bagus. Kini, terserah pada semua orang masyarakat internasional untuk mendukung kedua negara agar kondisi ini terjaga seperti apa adanya, karena bagi mereka dan kita semua, ini baru muncul dalam radar.

Kita tahu bahwa wilayah ini penting untuk berbagai alasan lain – karena memiliki nilai keragaman hayati tinggi, ada gorila di sebagian hutannya, ada pula bonobos di wilayah itu. Banyak alasan wilayah ini penting bagi dunia hingga saat ini, namun temuan ini memberi alasan tambahan. Artinya kita perlu memikirkan bagaimana lahan ini dimanfaatkan di masa depan.

Hal yang belum saya sebutkan adalah bahwa wilayah ini umumnya belum rusak, memang terdapat sedikit deforestasi yang bisa Anda lihat dari peta global hilangnya tutupan pohon di sekitar ujung wilayah. Meski tetap dalam kondisi bagus. Namun, sudah ada beberapa konsesi hutan di sekitar ujung (konsesi untuk eksplorasi minyak dan gas atau pertambangan), jadi rasanya kita berada di titik balik untuk wilayah ini. Dan ini saat yang tepat bagi temuan ini untuk menguatkan urgensi ini. Meski ini artinya ada pekerjaan penting bagaimana wilayah ini dapat dikonservasi.

Global Landscapes Forum adalah wahana agar semua orang duduk semeja, bukannya duduk di kotaknya masing-masing. Bagaimana sejauh ini, dan apakah Anda telah berdialog lintas meja?

Tentu saja, dan saya juga hadir pada Pertemuan Kedua Para Pihak Kedua Insiatif Lahan Gambut Global, jadi kita punya peluang berbicara mengenai topik ini selama tiga hari, termasuk kunjungan lapangan ke Riau di Sumatera, yang sangat luar biasa karena saya belum pernah mengunjungi ekosistem itu sebelumnya.

Melihat bagaimana Indonesia mulai mengimplementasikan restorasi hidrologi sistematis, benar-benar menggembirakan. Dan juga sangat menyenangkan ketika melihat antusiasnya semua orang di provinsi itu, mulai dari pemerintah hingga penduduk desa yang kami kunjungi.

Saya juga sangat menikmati sesi pleno [Global Landscapes Forum: Peatlands Matter] pagi ini. Sekali lagi, mendengar dari masyarakat lokal, bagaimana mereka memanfaatkan lahan gambut, bagaimana mereka perlu mengadaptasi sistem pertanian terkait pelarangan pembakaran, strategi yang mereka upayakan – serasa semuanya menuju arah yang baik. Ini pekerjaan besar.

*Wawancara ini merupakan bagian dari rangkaian wawancara video dari acara tematik Global Landscapes Forum: Peatlands Matter di Jakarta, 18 Mei 2017.

Kebijakan Hak Cipta:
Kami persilahkan Anda untuk berbagi konten dari Berita Hutan, berlaku dalam kebijakan Creative Commons Attribution-NonCommercial-ShareAlike 4.0 International (CC BY-NC-SA 4.0). Peraturan ini mengijinkan Anda mendistribusikan ulang materi dari Kabar Hutan untuk tujuan non-komersial. Sebaliknya, Anda diharuskan memberi kredit kepada Kabar Hutan sesuai dan link ke konten Kabar Hutan yang asli, memberitahu jika dilakukan perubahan, termasuk menyebarluaskan kontribusi Anda dengan lisensi Creative Commons yang sama. Anda harus memberi tahu Kabar Hutan jika Anda mengirim ulang, mencetak ulang atau menggunakan kembali materi kami dengan menghubungi forestsnews@cifor-icraf.org