Berita

Menguji pemantauan partisipatoris REDD+ di Indonesia

Mengingat sebagian besar inisiatif REDD+ berlangsung di wilayah terpencil dengan dana terbatas, disarankan melibatkan masyarakat hutan dalam melakukan pemantauan.
Bagikan
0
Fitur bentang alam, pemanfaatan lahan, dan tutupan lahan dapat diidentifikasi dengan memanfaatkan pemetaan partisipatoris melalui diskusi kelompok terfokus. Achmad Ibrahim/CIFOR

Bacaan terkait

Tumbuh besar di sebuah desa di Jawa Tengah, Indonesia pada 1980-an, Dian Ekowati mengunjungi ke Posyandu setiap bulan.

Pada pusat pelayanan kesehatan terpadu masyarakat itu, tinggi dan berat badannya dicatat untuk dilaporkan pada pemerintah oleh kader relawan kesehatan lokal. Salah seorang kadernya adalah ibunya sendiri. Bertahun-tahun menjadi relawan, ia hanya mendapat uang keringat – yang hanya cukup untuk membayar ongkos bus.

Program Posyandu dimulai pada 1984 oleh mantan Presiden Indonesia Suharto untuk meningkatkan imunisasi dan nutrisi, serta mengatasi tingginya kematian anak. Program yang sangat berhasil. Pada 1990, terdapat 250.000 posyandu masyarakat di seluruh kepulauan, dan banyak yang masih beroperasi hingga hari ini.

Bertahun-tahun kemudian, sebagai anggota tim peneliti Pusat Penelitian Kehutanan Internasional (CIFOR), Ekowati menyadari bahwa sistem Posyandu dapat menjadi contoh bagi REDD+. Skema dukungan PBB yang bertujuan memotivasi negara-negara tropis seperti Indonesia untuk mengurangi deforestasi dan degradasi hutan dalam memerangi perubahan iklim.

Menjaga hutan dan kesehatan anak? Hubungannya mungkin tidak lantas jelas. Namun, sebelum mendapat kompensasi dari reduksi emisi, masyarakat perlu melakukan pengukuran, pelaporan dan verifikasi aktivita mereka, sebagai sebuah proses yang dikenal sebagai MRV.

Mengingat sebagian besar inisiatif REDD+ berlangsung di wilayah terpencil, dan dana terbatas, sudah disarankan melibatkan masyarakat hutan dalam melakukan pemantauan ini. Langkah ini diduga akan lebih murah dibanding mengirim pakar dari luar, selain juga dapat meningkatkan transparansi, dan membuat masyarakat merasa lebih diberdayakan dan terlibat dalam REDD+.

Namun, apakah ini mungkin? Apa tantangannya? Apa yang perlu diupayakan?

Pertanyaan tersebut merupakan sebagian pertanyaan yang dijawab oleh rangkaian 12 makalah dalam bunga rampai khusus terbaru dalam jurnal ilmiah PLOS ONE.

Secara bersama-sama, para penulis menilai feasibilitas pemantauan partisipatoris (PMRV) untuk REDD+ dari perspektif luas, mulai dari ilmu sosial, pemerintahan hingga penginderaan jarak jauh.

Dari sisi teknis, PMRV sangat mungkin dilakukan, kata Martin Herold, mitra CIFOR dari Universitas Wageningen, dan menjadi editor tamu bunga rampai tersebut.

Ia menyatakan bahwa teknologi baru memungkinkan  masyarakat mengakses data satelit mengenai perubahan hutan pada telepon genggam mereka, memeriksa penyebab perubahan di lapangan, dan melaporkan informasi pada pihak berwenang.

Kajian dalam bunga rampai tersebut menyatakan bahwa mengadopsi PMRV jelas dapat mendukung implementasi REDD+. Masyarakat, kata Herold dapat berkontribusi untuk memantau perubahan hutan maupun elemen lain seperti perlindungan dan bagi manfaat. “Kini tidak ada alasan untuk tidak melakukannya.”

Tinggal aspek sosial PMRV yang masih perlu dibenahi, kata Manuel Boissiere, ilmuwan CIFOR dan CIRAD yang menjadi koordinator penyusunan bunga rampai tersebut.

Secara keseluruhan, penelitian mengungkap banyak pertimbangan penting yang perlu dipertimbangkan ketika membangun sistem PMRV.

“Penelitian seperti ini dapat membantu menyediakan informasi mengenai kondisi yang perlu ditangani dalam melakukan PMRV,” kata Boissiere.

MOTIVASI SAYA

Salah satu pertanyaan kunci adalah bagaimana memotivasi individu untuk mau melakukan aktivitas ini.

“Mengapa masyarakat harus berpartisipasi dalam MRV untuk REDD+?” tanya Boissiere. “Apakah mereka punya waktu? Apakah mereka punya kapasitas, sumber daya, keinginan dan minta untuk melakukannya? Jika mereka berpartisipasi, akankah penghidupan harian terancam jika aktivitas mereka menyebabkan degradasi hutan?

“Motivasi adalah kunci. Anda tidak bisa berharap masyarakat berpartisipasi jika mereka tidak melihat dengan jelas kepentingannya.”

Pada titik inilah penelitian Posyandu berperan. Penelitian ini merupakan bagian proyek lebih besar Boissière dan timnya di tiga provinsi di Indonesia – Kalimantan Barat, Jawa Tengah dan Papua.

“Satu hal yang menarik mengenai sistem pelaporan Posyandu adalah keberlangsungan dalam rentang akses yang sangat beragam,” kata Boissiere. “Di Jawa, masyarakat dapat mengirim data melalui SMS, dan di desa mereka memiliki jaringan 3G hingga dapat mengirim via surat elektronik.”

“Di Papua, mereka harus menggunakan kano ke ibukota kabupaten untuk mengirim informasi. Sangat beragam – namun berhasil.”

Dian Ekowati dan Carola Hofstee berfokus pada apa yang memotivasi kader Posyandu menjadi relawan.

“Mungkin tampak berbeda, berpartisipasi dalam pemantauan kesehatan dibanding pemantauan lingkungan, namun jika dilihat lebih dalam, terdapat banyak kesamaan,” katanya. “Bahkan pada Posyandu, masyarakat tidak lantas ikut serta juga.”

Mereka menemukan bahwa masyarakat sangat skeptis saat pertama Posyandu dikenalkan. Penduduk desa bergantung pada tabib tradisional, dan tidak percaya pentingnya pengukuran tinggi dan berat badan anak secara teratur.

Pemerintah melakukan kampanye promosi besar-besaran untuk meyakinkan masyarakat mengenai nilai penting posyandu dan menjadi kader. Ekowati ingat pernah disuruh menyanyikan lagu mengenai Posyandu di sekolahnya: Aku Anak Sehat.

“Waktu kecil, lagu ini diputar di seluruh radio,” katanya. “Lagu ini sangat masif, bahkan ada versi parodinya.”

Para peneliti menemukan bahwa para kader bekerja sukarela karena mereka merasa bertanggung jawab dan dapat berkontribusi pada masyarakat.  Sebagian memang memiliki minat mengurus anak, atau bergabung karena diminta oleh tokoh masyarakat.

Di Jawa Tengah, masyarakat termotivasi oleh nilai-nilai relijius, dan di Kalimantan Barat, sebagian relawan berlatar kebanggaan desa – karena mereka akan malu jika desa tetangga memiliki Posyandu, dan mereka tidak.

Ekowati yakin,  motivasi seperti itu juga bisa didorong dalam sistem PMRV REDD+.

“Kita tidak lantas yakin bahwa PMRV REDD+ bisa berjalan di Indonesia – negara yang sangat beragam, tingkat literasi, akses komunikasi dan transportasi  yang berbeda-beda – namun Posyandu memberi kami harapan. Seperti sulitnya meminta masyarakat untuk menimbang anaknya di 1980-an, seperti sekarang meminta mereka mengukur pohon – ini bukan hal yang tidak mungkin.”

PENGHIDUPAN DAN LOKALITAS

Dalam makalah lain pada bunga rampai tersebut, ilmuwan CIFOR Indah Waty Bong dan koleganya menganalisis penyebab lokal deforestasi dan degradasi hutan, dan relasinya dengan penghidupan anggot masyarakat.

Teknologi penginderaan jarak jauh dapat menunjukkan lokasi dan kecepatan deforestasi terjadi – namun masyarakat lokal dapat memberi informasi penting, mengapa hal itu terjadi.

Meskipun di beberapa kasus, deforestasi mungkin didorong oleh aktivitas penghidupan sehari-hari – seperti menebang pohon, atau membersihkan lahan untuk perladangan berpindah.

Hal ini, kata Bong, berarti proponen inisiatif REDD+ perlu menginvestigasi dan memahami hubungan tersebut, jika hendak meminta masyarakat lokal berpartisipasi dalam pemantauan.

“Jika Anda ingin menangani penyebab tertentu deforestasi dan mayoritas keluarga di desa itu justru menggantungkan penghidupannya di sana, maka Anda menghadapi potensi kehilangan besar – dan mereka mungkin akan kurang ingin terlibat dalam pemantauan.

Terdapat juga potensi konflik, ketika sekelompok masyarakat diminta memantau dan melaporkan aktivitas yang dilakukan oleh anggota masyarakat lain. “Dari perspektif proyek, hal ini menjadi isu etis yang perlu dipikirkan,” kata Bong.

Sebuah temuan kunci menunjukkan bahwa proses lokal perubahan tutupan hutan bersifat dinamis, dan bervariasi di antara dan di dalam masyarakat. Sebuah penyebab – seperti penebangan – mungkin berperan relatif besar dalam degradasi hutan, meski hanya menjadi proporsi kecil pemasukan bagi masyarakat.

Hal ini, menurut Bong, berarti intervensi dan insentif dapat ditargetkan secara langsung pada masyarakat tersebut, untuk menjamin keadilan dan efisiensi lebih baik.

SIAPAKAH ‘MASYARAKAT’ ITU?

MRV partisipatoris, sebagiannya didorong oleh kebutuhan menjamin kepentingan masyarakat lokal terepresentasikan dalam REDD+. Dalam meminta masyarakat lokal berpartisipasi, kata Boissiere, dibutuhkan kejelasan mengenai siapa yang tengah kita bicarakan.

Dalam makalah lain dalam bunga rampai tersebut, ilmuwan CIFOR Stibniati Atmadja menginvestigasi bagaimana para peneliti menilai ‘persepsi masyarakat’ mengenai REDD+.

“Kita tidak bisa di semua tempat bersamaan – kita harus mengambil sampel, dan melakukan generalisasi ke area lebih luas,” katanya. “Jadi penelitian mengenai persepsi masyarakat berisi pilihan fundamental mengenai bagaimana merepresentasikan masyarakat heterogen.”

Selama peneliti menjelaskan pilihan tersebut dan alasannya, menurut Atmadja, hal ini tidak masalah.

“Sebagian besar makalah akademik yang kami periksa tidak benar-benar memberi pembaca informasi yang cukup untuk menjawab pertanyaan sederhana: Siapa sampelnnya? Siapa yang direpresentasikan sampel tersebut?

Penelitian ini tidak menganalisis laman (websites), berita dan materi advokasi – yang terdiseminasi lebih luas dibanding penelitian akademis – namun sumber-sumber tersebut, kata Atmadja, cenderung lebih tidak  menyediakan informasi mengenai metode samplingnya.

“Mereka menyatakan, ‘kami ke lapangan, kami menemui masyarakat lokal’ – bagian mana? Bagian termudah yang dapat dijangkau? Masyarakat mana – mereka yang telah kecewa? Seberapa besar kita bisa melakukan generalasisasi berdasar pada persepsi masyarakat tersebut.

Baik peneliti maupun non-peneliti, katanya, dapat dan seharusnya melakukan upaya lebih baik. Hal ini penting karena inisiatif REDD+ cenderung berlangsung di area terpencil, di hutan yang sulit dijangkau.

“Pernyataan kecil yang disuarakan memberi bobot besar – jadi penting untuk berhati-hati,” kata Atmadja.

TAK ADA RESEP TUNGGAL

Secara keseluruhan, bunga rampai ini menunjukkan perlunya merangkul keberagaman dalam merancang sistem PMRV untuk REDD+.

“Bahkan di satu negara, tidak ada resep tunggal dalam melibatkan masyarakat,” kata Boissière. “Aktivitas masyarakat tidak sama, mereka juga secara serupa bergantung pada produk hutan, begitu pula terkait akses jalan atau infrastruktur. Kita benar-benar perlu mengembangkan sesuatu yang adaptif.

Meski tampaknya PMRV berjalan di tingkat lokal, katanya, untuk berhasil, langkah selanjutnya adalah memikirkan bagaimana memperluas menjadi sebuah sistem yang berhasil di berbagai tingkat tata kelola.

“Kita perlu memiliki konsistensi dalam hal data yang dikumpulkan masyarakat, dan mampu menggabungkannya dalam sebuah sistem nasional.”

Para praktisi juga perlu mengakui bahwa hal itu tidak lantas bisa berjalan di setiap tempat.

“Setiap proyek atau program pemerintah yang bermaksud meningkatkan partisipasi lokal dalam REDD+ atau MRV perlu melakukan penelitian awal untuk melihat alasan mengapa mereka perlu melibatkan masyarakat di tempat itu,” kata Boissière.

“Dari situ, mereka dapat memahami apakah cukup berharga untuk dilakukan, dan merancang sesuatu untuk terlibat dengan masyarakat – atau apakah malah lebih baik mengirim  tim ahli.”

Banyak kendala yang perlu diatasi – namun pengetahuan baru yang komprehensif  dari penelitian terinci ini meletakan dasar bagi penerapan MRV partisipatoris.

Penelitian ini didukung oleh USAID, AUSAID, Norwegian Agency for Development Cooperation (Norad), International Climate Initiative (IKI) – German Federal Ministry for the Environment, Nature Conservation, Building and Nuclear Safety (BMUB).

Informasi lebih lanjut tentang topik ini hubungi Manuel Boissière di m.boissiere@cgiar.org atau Martin Herold di martin.herold@wur.nl atau Christopher Martius di c.martius@cgiar.org.
Kebijakan Hak Cipta:
Kami persilahkan Anda untuk berbagi konten dari Berita Hutan, berlaku dalam kebijakan Creative Commons Attribution-NonCommercial-ShareAlike 4.0 International (CC BY-NC-SA 4.0). Peraturan ini mengijinkan Anda mendistribusikan ulang materi dari Kabar Hutan untuk tujuan non-komersial. Sebaliknya, Anda diharuskan memberi kredit kepada Kabar Hutan sesuai dan link ke konten Kabar Hutan yang asli, memberitahu jika dilakukan perubahan, termasuk menyebarluaskan kontribusi Anda dengan lisensi Creative Commons yang sama. Anda harus memberi tahu Kabar Hutan jika Anda mengirim ulang, mencetak ulang atau menggunakan kembali materi kami dengan menghubungi forestsnews@cifor-icraf.org