Haruskah wisatawan di Indonesia membayar $500 untuk melihat orangutan?

Wisata mendorong kera besar belajar memanipulasi manusia dan mengeksploitasi dunia manusia?
Bagikan
0
Foto oleh Joanne Walker/CIFOR

Bacaan terkait

PULAU KAJA, Indonesia (6 Februari, 2012)_Di Indonesia, dengan uang sebesar $22 kita sudah dapat naik kapal selama 90 menit untuk melihat orangutan. Di Rwanda, turis harus membayar $500 hanya untuk melihat sekilas gorilla gunung – namun wisatawan tetap mengantri.

Dapatkah Indonesia mengenakan biaya $500 bagi turis asing untuk melihat kera besarnya?

“Ketika kami memulai wisata (gorilla) di Rwanda, pengunjung hanya membayar $50. Saat ini mereka harus membayar $500,” kata Antoine Mudakikwa dari Rwanda Development Board, pada sebuah seminar tentang kera besar yang diselenggarakan oleh Center for International Forestry Research. “Negara-negara seperti Indonesia dengan kekayaan sumber daya alamnya memiliki potensi untuk belajar banyak dari negara seperti Rwanda.”

Orangutan dan gorilla gunung sama-sama dikategorikan hewan yang terancam punah. Sekitar 57.000 ekor orangutan diperkirakan hidup di hutan Sumatra dan Borneo. Gorila gunung, yang hidup di Afrika Tengah, diperkirakan hanya tinggal sekitar 800 ekor.

Mudakikwa mengatakan bahwa salah satu kunci untuk mengenakan biaya tinggi kepada wisatawan untuk melihat satwa adalah dengan membuat mereka merasa diistimewakan. “Anda dapat membuat kunjungan yang eksklusif,” katanya dalam sebuah kunjungan lapangan bersama sekitar 20 ahli kera besar dan praktisi konservasi dari Afrika dan Asia ke Pulau Kaja, habitat bagi sekitar 45 orangutan yang direhabilitasi di Kalimantan Tengah, Indonesia.

Penduduk desa Sei Gohong di sekitar habitat tersebut membuat wisata kapal tiga bulan yang lalu, berharap dapat menarik sebanyak mungkin wisatawan yang ingin melihat orangutan di habitat alaminya. Dari sejumlah $22 yang dibayarkan oleh wisatawan, tidak ada yang disetorkan ke pemerintah.

Anne Russon, peneliti orangutan terkemuka dari York University, mengungkapkan beberapa keprihatinan terkait inisiatif wisata seperti itu. Dia mengatakan bahwa untuk memastikan pelestarian orangutan yang terancam punah tetap menjadi prioritas dan bukan hanya sekedar cara organisasi atau pemerintah mencari keuntungan, wisata berbasis orangutan sebaiknya tidak dioperasikan atau dipromosikan. Jika memang merencanakan wisata orangutan, maka sebaiknya direncanakan dan dipersiapkan secara menyeluruh dan bertanggung jawab, dan benar-benar dilaksanakan hanya jika ada jaminan dukungan seumur hidup bagi orangutan yang dikunjungi, mulainya kecil, dan dipertahankan tetap kecil.

Kera besar, termasuk gorilla, simpanse dan bonobos di Afrika, adalah spesies yang paling dekat kekerabatannya dengan manusia dan memiliki kebutuhan yang serupa, dan jenis penyakit yang sama (seperti tuberculosis (TBC) dan hepatitis), dan kemampuan belajar yang mengagumkan. Wisata mendorong mereka untuk belajar memanipulasi manusia dan mengeksploitasi dunia manusia: pembelajaran tersebut sangat berbahaya dan hampir tak terbalikkan.

Russon mengatakan bahwa insentif keuangan yang dihasilkan dari wisata juga dapat mendorong praktik-praktik buruk seperti terlalu padat pengunjung atau tingkah laku yang tidak sesuai hanya demi memuaskan keingintahuan wisatawan, seperti menyentuh dan memberi makan primata tersebut. Sudah ada peraturan untuk mengendalikan praktik-praktik buruk ini, seperti melarang memberi atau menawarkan makanan pada orangutan, dan menghindari kontak dengan orangutan, namun ternyata ini sulit dikendalikan.

IUCN telah merekomendasikan peraturan yang lebih ketat seperti membatasi jumlah wisatawan tidak lebih dari empat per kelompok pada satu waktu, membatasi kunjungan hanya satu jam per hari, dan mensyaratkan penggunaan masker operasi yang berkualitas bagi seluruh wisatawan saat mengunjungi orangutan, dan menjaga jarak paling sedikit 10 meter dari orangutan.

Dengan pelaporan oleh Leony Aurora.

######### 

Lokakarya ini merupakan yang kedua dari serangkaian lokakarya bertajuk “Great Apes and Poverty Linkages (Kaitan antara Kera Besar dan Kemiskinan)”, yang diselenggarakan oleh kerjasama antara Poverty and Conservation Learning Group (PCLG), dan International Institute for Environment and Development (IIED), dengan dukungan dana dari United States Agency for International Development (USAID), United States Fish and Wildlife (USFW), Arcus Foundation dan Great Apes Survival Partnership (GRASP). CIFOR dan Forestry Research and Development Agency (FORDA), Kementerian Kehutanan Indonesia menjadi tuan rumah acara tersebut.

Kunjungi laman lokakarya ini untuk menyaksikan video presentasi para ahli, membaca cerita-cerita blog dan melihat foto-foto terkait acara dan kunjungan lapangan ke Kalimantan Tengah, Indonesia.

Kebijakan Hak Cipta:
Kami persilahkan Anda untuk berbagi konten dari Berita Hutan, berlaku dalam kebijakan Creative Commons Attribution-NonCommercial-ShareAlike 4.0 International (CC BY-NC-SA 4.0). Peraturan ini mengijinkan Anda mendistribusikan ulang materi dari Kabar Hutan untuk tujuan non-komersial. Sebaliknya, Anda diharuskan memberi kredit kepada Kabar Hutan sesuai dan link ke konten Kabar Hutan yang asli, memberitahu jika dilakukan perubahan, termasuk menyebarluaskan kontribusi Anda dengan lisensi Creative Commons yang sama. Anda harus memberi tahu Kabar Hutan jika Anda mengirim ulang, mencetak ulang atau menggunakan kembali materi kami dengan menghubungi forestsnews@cifor-icraf.org